Niat Berpolitik

Selasa, 15 Mei 2018

Tamimi Ahmad.

Politik adalah salah satu aktivitas negara yang dipandang begitu seksi, dalam nalar biologis bahwa tidak ada satupun yang tidak tertarik bahkan bisa lepas darinya. Hal senada juga diungkapan seorang filosof Jerman Nietzshe “bahwa ada satu naluri yang tak pernah padam dalam diri manusia yaitu naluri untuk berkuasa”. Duduk dalam singgasana merupakan eksistensi dan kepuasaan tersendiri baginya, walaupun dalam singgasana itu penuh dengan suasana riuh dan tak tenang karena setiap harinya putar otot dan otak untuk menjalankan roda pemerintahan, terkadang dicaci, terkadang pula dipuji. Tapi anehnya dalam gejala umum para penguasa tidak ada yang mau berhenti dalam satu masa. Ini menggambarkan bahwa pada suasana keriuhan itu betapa banyak kenikmatan di dalamnya.

Publik yang belum memahami karakter sebuah kekuasaan tentu akan mengundang tanya, tapi inilah kenyataan walau dalam kemelut persoalan banyak orang mencarinya. Lalu, apa sesungguhnya yang dicari dari kekuasaan itu. untuk menjelaskan gejala ini setidaknya ada tiga sebab; Pertama, politik memungkinkan seseorang duduk di posisi strategis sebagai penentu kebijakan. Seseorang yang punya kekuasaan otomatis ia dapat mengarahkan kendali itu sesuai dengan keinginan. Jika kebijakan yang diambil dapat menembus batas-batas keluarga, kelompok maupun etnis, maka kebijakan itu akan ada dan dapat mewujudkan kehidupan baru yang lebih baik. Namun, jika sebaliknya, kebijakan itu akan melahirkan suasana suram yang penuh petaka. 

Kedua, untuk merubah keadaan hidup seseorang secara material dari keadaan sederhana menjadi istimewa. Faktor kedua sangat menarik untuk didalami karena punya daya tarik tersendiri bagi setiap orang yang terjun ke dunia politik sehingga dalam proses kampanye atau kontrak politiknya menjanjikan program-program normatif dan meyakinkan, padahal tidak lebih untuk menjadikan masyarakat hanya sebatas jalan kekuasaan, seumpama daun pisang di saat hujan ia diangkat diatas kepala namun setelah hujan reda iapun dilemparkan entah kemana.

Ketiga, adanya panggilan untuk merubah keadaan masyarakat ke arah yang lebih baik (dalam Muhammad Qorib: 2010, 98). Tujuan ini seringkali labil, pada awalnya ia punya niat mulia untuk fokus membangun masyarakat namun di saat berhadapan dengan beragam fasilitas dan kenikmatan politik mulai putar haluan, hilang orientasi jangka panjang, sulitnya membendung keinginan sesaat. Keadaan ini begitu relatif, dalam arti banyak orang yang mampu bertahan dari niat awal tapi lebih banyak lagi yang hilang orientasi itu sehingga mengundang persoalan secara tersendiri pula, apakah itu bersinggungan dengan sanksi sosial karena disorientasi sikap dan komitmen sehingga mengakibatkan ia tidak dipercaya lagi dan mungkin juga masuk pada ranah hukum yang mengerikan itu. ini semua tergantung pada kekuatan pribadi masing-masing.

Oleh karenanya, terjun ke dunia politik memerlukan kematangan kpribadian yang tergambar pada kecerdasan emosional, intelektual dan Spritualnya. Kecerdasan emosional mengajarkan bagaimana ia bisa simpati, memahami, mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kemudian kecerdasan Inteletual dapat menjadi bekal baginya untuk melahirkan ide serta gagasan menjadi sebuah konsep cerdas untuk pembangunan. Dan kecerdasan Spritual ini lebih pada persoalan karakter. Menurut Anis Baswedan, karakter itu terbagi atas dua yaitu karakter moral dan karakter kinerja, bagus karakter moral tapi kinerja tidak baik juga tidak baik, sebaliknya bagus karakter kinerja tapi karakter moral tidak baik maka juga di bisa dikatakan baik. Oleh karena itu masing-masing saling mengisi.

Begitu juga dengan seseorang yang hanya cerdas secara intelektual ia banyak ide, gagasan menjadi sebuah program baik, namun miskin kecerdasan emosional ia tidak akan bisa mengarahkan, menggerakkan orang lain untuk bekerjasama mensuskseskan program itu secara lebih baik pula. sebaliknya ia cerdas secara emosional dalam arti pandai memimpin, menggerakkan namun jika konsep yang dijalani itu tidak baik maka roda pembangunan itu dalam satu priodenya hanya semata buang anggaran tanpa pengaruh dari program yang benar-benar dibutuhkan. 

Oleh karena itu, penting bagi kita melayakkan diri untuk menempuh sebuah posisi kerakyatan itu, terutama soal ketulusan niat dan kesiapan diri. Dalam perspektif agama, niat merupakan titik tolak dimana dan hendak kemana kita berangkat, niat yang mulia akan mendapat hasil dan balasan yang mulia pula, Tuhan sendiri menilai semua aktivitas manusia itu bertolak dari apa yang ia niatkan, kalau ia punya niat baik makan akan mendapat banyak ke baikan dan keselamatan, sebaliknya niat yang merusak akan dapat menjadi belenggu bagi diri dan masyarakat. 

Dalam hal ini niat juga harus diselaraskan dengan persoalan kafasitas diri sehingga niat yang baik itu akan mudah terwujud secara baik pula, kafasitas diri yang tidak mendukung walau dengan niat yang baik juga akan menjadi petaka kehidupan. Intinya titik renung itu adalah niat dan kemampuan, bukan terjun ke dunia politik hanya persoalan euforia, tren dan eksistensi diri dimata orang-orang tapi ini adalah persoalan kehidupan masyarakat yang bergantung di dalamnya butuh kebijakan dan pendistribusian yang cerdas. Maka dibutuhkan orang-orang yang cerdas dan tulus pula, diluar kecerdasan dan ketulusan itu pasti akan merusak.

Rasulullah pernah memberikan satu pertanyaan kepada para sahabatnya, “jika kelak Bizantium dan Persia dalam genggaman kalian, apa nanti yang akan kalian lakukan?, sahabat menjawab, Ya.. Rasulullah, kami akan menjaga kepentingan rakyat. Rasul meneruskan, jika kelak kerajaan besar itu sudah kalian tundukkan, kalian akan berlomba-loba mengejar kesenangan dunia, setelah itu kalian berperang dengan saudara kalian, kalian juga akan menyangka berperang dengan saudara kalian juga merupakan jihad dijalan Allah sehingga kalian binasa, kecuali kalian bertaqwa kepada Allah SWT.

Dialog ini menggambarkan betapa labilnya hati (niat) manusia ketika berhadapan dengan ujian kekuasaan kecuali bagi mereka yang senantisa ingat Tuhannya (cerdas Spiritualnya). Secara faktual, banyak orang yang mampu konsisten berawal dari kemapuannya menjaga niat, namun tidak sedikit yang gagal mengawal dirinya sendiri, bahkan merekalah salah satu penyebab hancurnya sendi-sendi kehidupan masyarakat, terjadinya duka dan dilema di sana sini. Dengan tulisan singkat ini hendaknya dapat menjadi renungan moril bagi setiap kita dalam upaya pemantapan kafasitas dan ketulusan diri untuk berpolitik demi kemaslahatan rakyat. Oleh karenanya perbaiki niat.


Oleh AHMAD TAMIMI
Penulis: adalah Ketua Panwaslu Kecamatan Mandah