Kanal

Perlukah Film G30S-PKI Versi Baru? Begini Komentar Hanung Bramantyo

PRO dan kontra terus mewarnai Film G30S-PKI. Beberapa pihak menilai film tersebut tak sesuai sejarah dan terkesan film pesanan pemerintah di zaman Orde baru. Namun kenyataan masih banyak yang menyaksikan film tersebut.

Bahkan menjelang hari kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober 2017. Masyarakat mulai menghidupkan kembali nonton bareng (Nobar) film G30S-PKI.

Lantas apakah perlu dibuatkan versi baru film G30S-PKI. Sutradara peraih beragam penghargaan Hanung Bramantyo menilai jika pembuatan film memiliki misi meminta masyarakat untuk mempercayai sejarah tentu saja salah besar.

“Sebagai sebuah film, sah-sah saja, tapi masalahnya jika meminta masyarakat meyakini jika hal itu benar. Itu sangat tidak bagus,” kata pria kelahiran jogjakarta, 1 Oktober 1975.

Hanung mengemukakan mengadopsi sebuah film dengan melahirkan versi baru merupakan hal yang wajar. Banyak sineas yang telah melakukan hal tersebut. Akan tetapi, jangan mengharapkan film seusai dengan fakta dilapangan.

Peraih piala citra lewat film Brownies mengatakan tidak ada film yang objektif. Berbeda dengan ilmu jurnalistik yang diperlukan cover both side (berimbang) untuk diberikan kepada khalayak.

“Tidak ada film objektif dan semua subjektif. Makanya dibutuhkan film lain muncul dengan peristiwa sama tapi berbeda karakter. Agar melihat sudut pandang masing-masing,” ujar suami dari aktris Zaskia Adya Mecca itu.

Perihal usulan, Presiden, Joko Widodo terkait mengubah film G30S-PKI berubah versi ke versi anak muda atau kekinian. Menurutnya, itu pun tidak perlu dilakukan.

Mengapa? Hanung menilai beberapa film di tahun yang sama sudah ada dikeluarkan. Hanya saja gagal bersinar dan senyap. Seperti film berjudul kuburan massal, shadow play hingga sang penari.

“Itukan bisa dipakai dan diputar saja karena dibuat sutradara ternama. Cuma persoalan tidak mendapatkan tempat untuk ditonton. Beda halnya film G30S/PKI, dahulu diwajibkan untuk menonton baik ditayangkan pada seluruh stasiun televisi ataupun diputar oleh setiap sekolah. Film diluar itu tidak ada himbauan, padahal dengan kejadian yang sama,” jelasnya.

Jika memang saran Joko Widodo dilakukan, mestinya dibuat semacam festival baik dalam bentuk film pendek, dokumentar atau layar lebar untuk membuat film tersebut. Tapi juga memerlukan pengawasan dan audit.

“Jadi masyarakat bisa mendaftar, bagi mereka yang ceritanya kuat dan dipercaya sehingga tidak hanya menunjuk sutradara,” ujarnya.

Sebab, film sejarah bersifat bulat dan tidak perspektif dan banyak sudut pandang. peristiwa lubang buaya salah satunya, dimana menceritakan sosok Cakra Birawa yang mengambil para jenderal kemudian dibawa ke lubang buaya.

”Seperti itu kan tidak mengubah sejarah, karena ada karakter lain dikupas. Bahkan menjadi pertanyaan mengapa para jendral diambil dan dibawa ke lubang buaya. Karena sampai saat ini belum pernah terungkap,”katanya.

Sementara itu, Jajang C. Noer tak mempermasalahkan film karya suaminya diubah dengan versi kekinian. Jajang mendukung penuh saran dari orang nomor satu di Indonesia tersebut.

“Dengan apa yang terjadi dan dibuat harus sungguh-sungguh. Untuk pengadegan penting sekali. Itu kalo sembarangan, nggak akan nyampe ke penonton. Itu penting sekali baik properti ataupun hal lain dan jangan sampai seperti kacang garuda. Nanti kacau dan buyar,” terang Jajang C Noer, baru-baru ini.

Hanya saja, Jajang berharap pembuatan film tak boleh sembarangan Dalam artian, perlu bersungguh-sungguh dengan seksama. Apalagi film sejarah ada banyak kepentingan yang mau dilakukan. “Harus berhati-hati untuk pembuatan film versi baru. Jika berbeda, itu terserah, semuanya macam-macam pasti visinya macam-macam juga dan intervensinya akan datang bermacam-macam,” tegasnya.

Apakah berminat menjadi penulis dalam versi baru, seperti yang dilakukan Arifin sebelumnya sebagai pencetus pertama, menurut Jajang itu tak gampang dan bakal sulit. “Saya gak mau, film itu kontroversi,” terangnya. (pojoksatu)

Ikuti Terus InhilKlik

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER