Kanal

Dilema Hukuman Rehabilitasi Narkoba

INHILKLIK.COM, PEKANBARU - Seorang terpidana kasus narkoba, mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 112, Pasal 114, serta Pasal 127 UU Narkotika, yang memuat sanksi pidana bagi pelaku penyalahgunaan narkotika bulan juli lalu.

Pemohon menilai pasal-pasal tersebut menyebabkan ia kehilangan hak untuk direhabilitasi, padahal sebagai pengguna seharusnya ia diposisikan sebagai korban. Kenyataan di lapangan pelaku penyalahgunaan narkoba lebih banyak dipenjara ketimbang direhabilitasi.

Kondisi ini berlawanan dengan tekad pemerintah yang selalu menyampaikan tekad untuk memberantas Narkoba

Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Peradilan pandangan pengguna narkotika sebagai pelaku kejahatan masih lebih dominan dibandingkan pendekatan kesehatan dan penyembuhan terhadap ketergantungan narkotika. Sejumlah pasal dalam UU Narkotika yang sering dikenakan oleh penuntut umum, baik dalam dakwaan maupun tuntutan, baik dari pasal 111, pasal 112, pasal 114, maupun pasal 127 UU Narkotika.

Kecenderungan penggunaan pasal dan cara perumusan dakwaan dengan dakwaan subsidaritas ini membawa pengaruh yang signifikan terhadap penempatan seorang pengguna narkotika di lembaga rehabilitasi baik medis maupun sosial.

Dalam pasal 111 ayat 1 UU Narkotika disebut setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar

Sedangkan pasal 112 ayat 1 berklausul mirip dengan pasal 111 ayat 1. Keduanya hanya berbeda dalam jenis narkotika yang ditargetkan. Pasal 111 ayat 1 menangani jenis narkotika tanaman dan pasal 112 ayat 1 memayungi jenis narkotika bukan tanaman.

Dalam pasal 112 ayat 1 disebutkan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar.

Berbeda halnya andai pasal yang diterapkan dalam dakwaan primer adalah pasal 127 ayat 1. Dalam pasal tersebut disebutkan setiap pelaku penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Sedangkan untuk pernyalah gunaan narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.

Namun pasal 127 ayat 2 menyatakan, dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54, pasal 55, dan pasal 103 UU Narkotika. Ketiga pasal itu mewajibkan dan memberikan pedoman bagi hakim untuk menempatkan pengguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial.

Padahal di satu sisi, semangat untuk tidak melulu memenjarakan pelaku penyalahgunaan narkoba melainkan melakukan rehabilitasi telah muncul dalam sistem hukum Indonesia. Hal itu tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010.

Dalam surat edaran tersebut, Mahkamah Agung menetapkan lima kualifikasi pelaku penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkotika yang dapat ditempatkan di rehabilitasi. Pertama, penangkapan terhadap terdakwa dilakukan secara tertangkap tangan. Kemudian yang kedua, pada saat tertangkap tangan tersebut ditemukan barang bukti pemakaian 1 hari narkotika dengan jenis dan bobot tertentu.


Ketentuan yang ketiga juga mengharuskan terbitnya surat uji laboratorium dengan hasil pemeriksaan positif menggunakan narkotika atas permintaan penyidik. Kualifikasi keempat, diperlukan surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim. Sedangkan yang kelima,  tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

SEMA juga merinci jenis dan bobot pemakaian narkotika selama sehari sebagai berikut.
Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram
Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram atau sama dengan 8 butir
Kelompok Heroin : 1,8 gram
Kelompok Kokain : 1,8 gram
Kelompok Ganja : 5 gram
Daun Koka : 5 gram
Meskalin : 5 gram
Kelompok Psilosybin : 3 gram
Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram
Kelompok PCP (phencylidine) : 3 gram
Kelompok Fentanil : 1 gram
Kelompok Metadon : 0,5 gram
Kelompok Morfin : 1,8 gram
Kelompok Petidin : 0,96 gram
Kelompok Kodein : 72 gram
Kelompok Bufrenorfin : 32 mg

Senada dengan hal tersebut, Kejaksaan Agung juga menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) NO. B-601/E/EJP/02/2013 tentang Penempatan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Surat edaran tersebut diterbitkan dalam rangka menyamakan persepsi dalam penerapan SEJA RI No. SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Dalam SEJA tersebut disebutkan pasal-pasal dalam Bab IX UU Narkotika menegaskan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan tersebut telah dijabarkan di dalam PP No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Ada pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul: mengapa ada pengguna narkoba yang divonis penjara dan ada yang hanya rehabilitasi? Pertanyaan kritis macam itu bahkan bisa mengemuka tidak lama setelah penangkapan. Ada yang tidak lama kemudian langsung direkomendasikan untuk rehabilitasi dan ada yang langsung dilanjutkan diproses secara hukum.

Surat edaran yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dan Jaksa Agung dapat dibaca sebagai usaha untuk menempatkan para pengguna narkoba secara hati-hati. Terutama SEMA terlihat sebagai terobosan untuk tidak memukul rata para pengguna narkoba.

Biar bagaimanapun, terbuka kemungkinan bahwa pengguna tersebut hanyalah korban. Menyamaratakan korban dengan, misalnya, pengedar membuat pengguna yang hanyalah korban mengalami kerugian dan kehilangan kesempatan untuk menyembuhkan dirinya. *****

Penulis : Ibnu Arifin S.H adalah  Seorang lawyer, Sekaligus Sekretaris Jendral (Sekjen) Pemuda Bersama Ninggalin Narkoba (P-BNN) Provinsi Riau | src

Ikuti Terus InhilKlik

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER