Kanal

Kekerasan Fisik Masih Menghantui Wartawan

http://img.okeinfo.net/content/2013/08/21/340/853428/tYxOPL77jO.jpgPadang (Inhilklik) - Sepanjang 2012 sampai Agustus 2013 Lembaga Bantuan Hukum Pers Padang mencatat ada 20 kasus kekerasan terhadap wartawan. Rinciannya, sembilan kasus kekerasan fisik, empat kasus ancaman kekerasan, tiga kasus perampasan dan perusakan alat liputan, dan empat kasus pengusiran serta menghalang-halangi saat melakukan proses peliputan.

PJs Direktur LBH Pers Padang, Roni Saputra mengatakan tahun 2013 mulai Januari sampai Agustus bulan ini telah mencatat 14 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di wilayah Sumatera. 

“Dari 14 kasus tersebut, lima kasus kekerasan fisik, tiga kasus ancaman kekerasan, satu kasus perampasan dan pengrusakan alat peliputan, tiga kasus pelecehan terhadap profesi jurnalis dan dua  kasus pengusiran dan menghalang-halangi jurnalis melakukan proses peliputan,” ujarnya di kantor LBH Pers Padang, jalan Andalas Raya, Rabu (21/8/2013)

Kata Roni, hasil pendataan dan pemantauan LBH Pers sepanjang tahun 2013 aktor pelaku dalam kasus pers didominasi oleh aparat penegak hukum, dari 14 kasus, 5 kasus diantaranya yang menjadi pelaku adalah anggota Kepolisian, 2 kasus  dengan pelaku  adalah Kepala Daerah, 2 kasus pelakunya warga sipil, 1 kasus pelakunya Pegawai Negeri Sipil, 3 kasus pelakunya berasal dari kalangan pengusaha dan 1 kasus masih belum diketahui.

“Dari sebaran pelaku ini terlihat Kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya dapat memberikan contoh dalam penegakan hukum dan mematuhi undang-undang, malah sebaliknya, menjadi pelaku yang paling dominan,” ujarnya

Ia memberikan contoh kasus yang dialami oleh Nasrul Jamil (wartawan TV One) di Kabupaten Indragiri Hilir ketika ia akan mengirimkan hasi liputan ke Jakarta di sebuah warnet, pada saat itu ada data yang lupa ia bawa dan meminta kepada pemilik warnet untuk tidak mematikan komputer yang ia pakai, tiba-tiba terdengar suara makian yang ditujukan kepada Nasrul dari orang yang kemudian diketahui bernama Ardi Suardi anggota polisi berpangkat Brigadir Satu.

Tak puas dengan makian, Ardi menarik baju Nasrul dan mengajak duel, karena dibiarkan oleh Nasrul, Polisi itu menerjang tubuh Nasrul dari belakang dan melemparkan kaleng minuman hingga menyebabkan Nasrul mengalami luka-luka.

Berbeda halnya di Sumatera Barat, pada 14 Juni 2013, karya foto milik Iggoy Ketua Pewartawa Foto Indonesia (PFI) Sumbar yang juga fotografer Antara dipergunakan oleh Pemerintah Kota Pariaman untuk pembuatan buku “Pariaman dalam Lensa”.

“Tanpa meminta izin ataupun pemberitahuan kepada Iggoy sebagai pemilik karya, bahkan Wali Kota Pariman menyebutkan penggunaan foto-foto itu tidak melanggar ketentuan dalam UU Hak Cipta,” ujarnya.

Pada kasus kekerasan tersebut tahun 2012, Propinsi Sumatera Utara menempati urutan teratas kasus pers yang terjadi di Wilayah Sumatera dengan 6 kasus, dan pada posisi kedua terjadi di Riau dengan empat kasus, di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan masing-masing terjadi tiga kasus selama tahun 2012, di Propinsi Lampung tercatat dua kasus, sedangkan Propinsi Aceh dan Kepri terjadi satu kasus, lain halnya di Propinsi Jambi, Bengkulu dan Bangka Belitung, tidak satupun terjadi kasus kekerasan, ancaman kekerasan, kriminalisasi terhadap pers selama 2012.

“Pada tahun 2013, terjadi peralihan peningkatan kasus pers di wilayah Sumatera, hingga Agustus 2013 di Provinsi Riau tercatat telah terjadi empat kasus Pers dan menempati urutan pertama kasus pers di wilayah Sumatera,” katanya.

Untuk kasus-kasus yang terjadi pada 2013 pun tidak jauh berbeda,  beberapa kasus ditangani oleh aparat penegak hukum setelah mendapat sorotan publik, salah satunya adalah kasus penodongan terhadap 8 orang wartawan di Kota Padang. Polisi baru maksimal melakukan proses hukum setelah beberapa kali kampanye dan datangnya Irwasum Mabes Polri ke Mapolresta Padang.

“Hingga saat ini perlindungan hukum yang berikan oleh Negara bagi jurnalis masih sebatas bunyi pasal di dalam Undang-undang, tak lebih dari itu. Macetnya proses hukum juga terjadi karena pengaruh dan relasi antara pelaku dengan pemilik perusahaan. Selagi redaksi tidak bebas dan merdeka, maka selama itu pulalah kemerdekaan pers itu juga  akan terkungkung,” ujarnya.

Lanjut Roni hampir disetiap kasus kekerasan terhadap pers, pelaku maupun instansi pelaku mengawali proses dengan mengajukan perdamaian. Perdamaian dilakukan dengan harapan, kasus bisa ditutup, pelaku bisa bebas kembali bertugas, setidaknya trend ini hampir terjadi dikasus-kasus pers.

Misal pada 2012, kasus pemukulan wartawan oleh anggota marinir, TNI mencoba melakukan upaya perdamaian, namun karena proses pengawalan kasus yang dilakukan upaya damai akhirnya tidak menghentikan proses hukum, begitupun dengan penganiayaan Letkol Robert Simanjuntak terhadap jurnalis yang melakukan  peliputan jatuhnya pesawat Hawk 200 milik TNI AU, berbagai upaya perdamaian juga dilakukan. Dan tidak tertutup pada kasus yang terjadi selama tahun 2013, upaya perdamaian itupun dilakukan, dengan harapan proses hukum selesai.

Jurnalis dan perusahaan media, harus dapat memahami bahwa jika dalam hukum upaya perdamaian itu tidak dikenal, apalagi delik pers tidak termasuk dalam kategori delik aduan. Selain itu, dengan mengakomudir proses perdamaian, maka dapat  berakibat pada munculnya kasus-kasus pers baru, karena pelaku akan berasumsi, setiap pemukulan dan penganiayaan dan penghalang-halangan jurnalis tidak perlu ditebus dengan menjalankan proses hukum, tetapi cukup dengan melakukan pendekatan dan perdamaian. (okezone)
Ikuti Terus InhilKlik

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER