Larangan Ekspor Kelapa Bukan Solusi, Cuma 'Akal-akalan' Pengusaha

Ahad, 26 Maret 2017

Kebun kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir.

INHILKLIK.COM, TEMBILAHAN - Persatuan Petani Kelapa Indonesia (PERPEKINDO) secara tegas menyatakan jika larangan ekspor bukanlah solusi, namun pemerintah perlu membuat regulasi tata niaga agar harga kelapa tetap stabil dan industri dalam negeri juga mempunyai harga dasar untuk menentukan harga pembelian.

Tidak seperti saat ini, industri mengklaim kekurangan bahan baku, sementara petani mengatakan harga belinya murah sehingga tidak menjual ke industri dan lebih memilih menjual kepada eksportir yang menghargai lebih mahal.

“Dasar itulah industri mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan larangan ekspor kelapa bulat untuk mengatasi kelangkaan bahan bakunya,” ungkap Ketua PERPEKINDO Muhaemin Tallo dalam rilsinya kepada Inhilklik.com.

Industry selama ini memang membeli hasil produksi petani dengan murah karena selalu berpatokan harga CNO Rotterdam yaitu harga dasar Kopra sementara industri dalam negeri sudah multi produk seharusnya berani menghargai kelapa petani lebih tinggi.

Baru sekitar tiga tahun terakhir harga kelapa membaik dengan masuknya ekpostir ke sentra sentra kelapa yang berani membeli kelapa petani dengan harga yang pantas. Masuknya eksportir ke sentra sentra kelapa baru industri mengangkat harga mengimbangi eksportir  kalau tetap berpatokan haga CNO Rotterdam mereka tidak dapat bahan baku.

“Oleh karena itu, Perpekindo tidak setuju adanya larangan ekspor kelapa bulat karena akan merugikan petani kelapa yang akan berpengaruh masalah harga jual dan itu bukan solusi terbaik bagi petani,” ujar Muhaemin.

 

Berikut solusi yang ditawarkan PERPEKINDO kepada pemerintah:

Satu : menertibkan ekspor kelapa yang ilegal karena itu sudah menyalahi aturan kenegaraan kita. Kalau mau ekspor kelapa harus dengan cara legal agar kelapa yang keluar dari Indonesia terdata dan jelas.

Kedua : membuat kebijakan larangan ekspor kelapa yang melalui undername (jasa forwarder) karena orang asing (WNA) banyak menggunakan hal tersebut tidak melalui jalur perdagangan yang resmi sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

Ketiga : membuat regulasi untuk menetapkan pungutan bagi yang melakukan ekspor dengan cara legal (resmi) kami mengusulkan pungutan karena dana yang terkumpul bisa digunakan untuk replanting kelapa yang sudah tua dan perbaikan kebun yang rusak sebagaimana yang di terapkan di kelapa sawit. Kelapa sawit mempunyai lembaga Badan pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Sawit bisa mengumpulkan 7 Triliun / Tahun dengan pungutan US$ 25 / Ton, kita meminta juga kepada menteri Koordinator Perekonomian membuat lembaga khusus untuk pungutan ekspor kelapa seperti Badan pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa  kalau ini kita lakukan sebagai contoh kelapa kita ekspor rata-rata 3 milyard butir /tahun berarti ada 3 juta ton / tahun karena kelapa beratnya rata-rata satu kg per butir  dikalikan US$ 25/ton  asumsi 13000 per dolar akan memungut sebesar Rp. 975 milyard/tahun. Kalau kita menggunakan Biaya Keluar (BK) itu piur masuk ke APBN tidak bisa kita gunakan utk replanting atau perbaikan kebun makanya perpekindo lebih memilih pungutan seperti sawit.

Keempat: dari hulu ke hilir harus dibenahi, perlu ada gerakan nasional (Gernas) Replanting secara besar besaran libatkan semua stakeholder pemangku kepentingan seperti contoh Pramuka  ada 20 juta orang. Satu orang menanam satu pohon berarti ada 20 juta pohon tertanam secara serentak. 20 juta pohon di kalikan 100 pohon/Ha  200 ribu Ha tertanam secara serentak  sementera program kementan (Kementerian Pertanian) hanya 25 ribu Ha/ tahun kalau satu juta Ha yang perlu direplanting  butuh waktu  40 tahun baru selesai di replanting.

Industri harus membenahi diri agar bisa memproduksi multi produk yang bisa member nilai tabah lebih banyak lagi kepada petani  dan membeli kelapa petani 5000/kg (umpamanya) kalau ini kita lakukan ekspor akan hilang dengan sendirinya tidak perlu ada regulasi larangan.

Kelima: pemerintah perlu melonggarkan regulasi tetang sertifikasi bibit, karena banyak yang terbentur masalah itu dalam hal penyediaan bibit kunci suksesnya replanting adalah ketersediaan bibit.

Keenam: tempatkan penyuluh kelapa di desa desa sentra kelapa  yang selama ini tidak pernah ada, produksi kelapa petani yang biasanya hanya 40 butir / pohon/tahun bisa ditingkatkan menjadi 200 butir/ pohon/tahun kalau ada pendampingan penyuluh kelapa.

Keenam: Khusus Wilayah Sumatra dan kalimatan yang daerah rawa atau pinggir aliran sungai karena daerah tersebut wilayah pasang surut jadi perlu penanganan secara khusus seperti  normalisasi parit dan pembuatan dam untuk mengatur tata air sementara yang berada di pinggir laut perlu dibuatkan tanggul untuk menahan air laut masuk ke perkebunan masyarakat.

Ketujuh: karena ketidak singkronan data dari berbagai lembaga mulai dari BPS, Statistik Perkebunan, APCC dan HIPKI serta Kemenperindag agar tidak selalu menjadi pertetangan di setiap pertemuan karena cukup menghabiskan energy banyak hanya mempertentangkan hal tersebut, maka kami mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan sensus secara nasional dan menyeluruh dalam artian mulai dari luas kebun yang produktif, luas kebun yang perlu diremajakan, jumlah produksi dan kebutuhan industry serta kebutuhan untuk konsumsi masyarakat Indonesia

Perpekindo selalu menyuarakan hal tersebut diatas disetiap acara FGD (focus Group Discusien) tentang Perkelapaan yang diadakan oleh Kementerian maupun pertemuan-pertemjuan di level nasional yang berkaitan dengan kelapa bahkan sudah kami suarakan sampai ke Watimpres (Dewan Pertimbangan presiden) walaupun bukan kami yang menyampaikan secara lansung tetapi berdasarkan saran masukan dari kami selaku organisasi yang menaungi petani kelapa agar disampaikan di wantimpres dan al hamdulillah semua masukan dari kami tersampaikan dan dicatat secara khusus serta wantimpres menyatakan akan menyampaikan hal tersebut kepada Presiden.

Seiring dengan hal tersebut diatas Perpekindo akan mengadakan Rapat kerja untuk merumuskan masalah-masalah tersebut diatas untuk mencari solusi terbaik dan membuat rekomendasi kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian untuk menentukan harga dasar yang pantas  petani terima dan tidak memberatkan industri. (yan/ard/rls)