Mou dan Kisah 'Pelarian' di Liga Europa Bersama MU

Jumat, 12 Mei 2017

Manchester United memastikan diri ke final Liga Europa 2016-17. Ini jadi kesempatan perdana dalam sejarah sekaligus pembuktian kapasitas seorang Jose Mourinho.

Langkah MU final bukan perkara mudah, setelah menang 0-1 di leg pertama semifinal, Setan Merah dipaksa bermain imbang 1-1 di pertemuan kedua di Old Trafford, Jumat (12/5/2017) dini hari WIB. Unggul terlebih dahulu berkat gol Marouane Fellaini di menit ke-17. Kemenangan MU yang sudah di depan mata harus sirna setelah gawang MU dibobol Facundo Roncaglia di menit ke-88.

Meski gagal menang di depan pendukungnya sendiri, The Red Devils tetap saja melangkah ke partai puncak dengan keunggulan agregat 2-1. Selanjutnya, United akan jumpa wakil Belanda, Ajax Amsterdam, di final.

Pencapaian ini tentu saja disambut suka cita oleh semua elemen klub, pasalnya mereka tinggal selangkah lagi memenuhi target, lolos ke fase grup Liga Champions Eropa musim depan.

Juara Liga Europa memang jadi pilihan Mou untuk kembali menjejakkan kaki di kompetisi tertinggi Eropa. Ini lebih dikarenakan Mou tahu benar peluang mereka lewat jalur empat besar Liga Premier Inggris terasa sulit.

Final Liga Europa 2016-17 juga berarti sebuah sejarah terukir, ini untuk pertama kalinya Manchester United akan main di final kejuaraan yang dulunya bernama Piala UEFA. Fakta lainnya, dari sekian banyak trofi eropa dan internasional yang terpampang di ruang piala Old Trafford, trofi Liga Europa yang belum ada.

Begitu pula dengan pencapaian Jose Mourinho, pria asal Portugal itu punya pengalaman panjang di kancah kompetisi Eropa. Ia pernah dua kali merasakan gelar juara Liga Champions Eropa bersama FC Porto (2004) dan Inter Milan (2010), tapi belum pernah merasakan gelar juara Liga Europa.

Untuk itu, Mou boleh saja berdalih lebih tertarik dan tertantang berkompetisi di level tertinggi, Liga Champions, ketimbang menguras pikiran dan tenaga hanya untuk meladeni persaingan di kompetisi kelas dua Eropa macam Liga Europa.

Namun, setidaknya untuk musim ini, Mou sudah bisa bersahabat dengan kenyataan, timnya berada di ambang juara, bukan Liga Champions yang biasa ia hadapi, tetapi Liga Europa yang (mungkin) 'asing' dalam riwayat hidup karier melatihnya.

Mou memang sudah mempersembahkan satu trofi kompetitif, Piala Liga Inggris, untuk MU di musim perdananya. Namun, rasanya trofi tersebut terbilang belum seberapa dengan nama besarnya, yang dia menyebutnya sebagai The Special One.

Mou menyadari benar akan opini-opini semacam itu, ekspektasi selalu hadir di sekeliling pelatih berprestasi. Lolos ke final Liga Europa menjadi cara 'terlicik' juru taktik 54 tahun menutupi fakta ia gagal membawa MU jadi juara liga. Boro-boro bicara juara, berada di tiga besar pun kini bukan jadi wacana utama.

Sayangnya, Mou malah harus berhadapan dengan realita yang nantinya akan jadi sangat kejam di awal keberadaannya di Manchester. Katakanlah MU gagal juara Liga Europa, hujatan, kritik, dan nyinyiran fans, haters menghujam tanpa ampun.

Gelar juara Piala Liga Inggris takkan jadi penolong Mou, karena ia terlanjur memberikan mimpi, mimpi yang dianggap besar, lolos ke Liga Champions Eropa sekaligus mengukir sejarah baru di kompetisi Eropa. Bukankah banyak yang beranggapan; gelar Eropa lebih punya nilai dibanding juara domestik?

Boleh saja Paul Pogba, Ander Herrera, Marouane Fellaini dan semua skuad MU bergembira usai mengandaskan Celta Vigo, namun bukan perayaan itu yang spesial bagi Mou. Ia tetap menyimpan ketegangan dan bahkan kegelisahan menjelang laga final.

Sebuah laga final kelas dua yang bisa saja tak pernah terpikir sebelumnya namun akan sangat spesial bagi kesan pertama Mou di MU, lebih dari itu gelar penyelamat nama besarnya.

"Setelah 14 pertandingan, kami berada di final. Jika kami memenangkan Liga Europa, saya amat sangat senang. Ini akan luar biasa," ujar Mou seperti dikutip dari BBC Sports.

Pernyataan Mou di atas mengindikasikan sebuah keinginan bukan sekedar angan, tanpa ada daya upaya. Dia sudah berupaya keras mengatasi tekanan, memformulasikan skuad dalam menyesuaikan padatnya jadwal pertandingan. Dan kerja kerasnya masih dibutuhkan di penghabisan.

Bukankah selalu spesial meraih trofi mayor di musim pertama, Mou? [ini]