Mengembalikan HMI ke Fitrah

Rabu, 26 Juli 2017

INHILKLIK.COM, INDRAGIRIHILIR - Di sela-sela pelantikan pengurus baru HMI Cabang Tembilahan, bawah pimpinan saudara Rahmat Hidayat sengaja saya sempatkan menulis artikel singkat ini sebagai upaya merespon keadaan sekaligus memberi tawarah arah gerakan organisasi ini kedepan. Diskusi  tentang arah organisasi dinilai begitu penting digiatkan, selain dapat menjaga kemurnian juga menguatkan konsistensi agar organisasi tidak berjalan secara premature dari tujuan awalnya. Oleh karena itu pada kesempatan ini kita fokus bicara tentang arah gerakan HMI Cabang Tembilahan kedepan. Kenapa ini menjadi penting?, Karena melihat perkembangan HMI akhir-akhir ini begitu menyentak hati dan pikiran, dinamika dan fenomena yang terjadi dinilai sudah berada diluar batas tradisi sehingga dikhawatirkan di kemudian hari dapat menggerogoti identitas, inilah dasar diangkatnya topik ini.

Hakikat mengembalikan HMI ke Fitrah merupakan satu sikap sadar yang menempatkan perjuangan HMI selaras dengan ide dasar berdirinya sekaligus lurus sesuai haluan konstitusi. Konsistensi terhadap ide dasar ini merupakan suatu kemestian agar proses perjuangan yang berjalan tidak berbalik arah dari tujuan asalnya. Jika ini terjadi, maka secara tidak lansung kita sudah terjebak dalam sikap khianat terhadapnya tujuan itu.

HMI sebagai organisasi besar, dibentuk dengan bangunan pemikiran mendalam menancapkan akarnya pada landasan teologis, ideologis dan historis yang kokoh. sudah selayaknya menjadi patokan dalam kata dan laku termasuk mengatur bagaimana sesungguhnya kita ber-HMI. Landasan ini sekaligus menjadi patokan nilai untuk mengukur cela atau mulianya kader. Landasan dan kemulian ini sesungguhnya terletak pada azaz dan aplikasi azaz itu yang bernafaskan Islam.

Pilihan ini tentu merupakan keselarasan kisah awal dari keresahan seorang Lafran Fane terhadap maraknya proses pembaratan (westernisasi) yang merasuk gaya hidup anak muda dan mahasiswa ketika itu, yang memandang agama suatu yang otonom (terpisah) dari kehidupan sehari-hari. Ketaatan dinilai sebagai kemunduran sehingga mereka alergi terhadap agama seperti shalat berjamaah, mengaji, mengikuti pengajian, bersedekah dan bentuk lainnya. Kenyataan ini yang membangunkan sikap sadarnya akan pentingnya satu wadah perjuangan Islamisasi. Islamisasi dalam makna meng-islamkan orang muslim agar hatinya kuat dan teguh dalam beramal dan mengabdi di berbagai aspeknya terutama untuk dunia mahasiswa. Hemat saya tradisi ini juga yang menjadi salah satu dicita-cita tinggi sang pendiri yang sampai hari ini dipahami secara dangkal.

Jadi, jelas sudah bahwa keberadaan HMI bukanlah sebuah perjuangan semata mengurus soal dimensi duniawi (sekuler), tapi lebih dalam dari itu adalah soal ukhrawi. Sayapun menjadi heran, kenapa gagasan sosio-historis HMI dibangun atas semangat ke islaman tapi justru dalam proses ber-HMI nilai itu semakin kontras dan kontra. Sehingga kita temukan pernyataan-pernyataan pendangkalan yang mengatakan bahwa HMI secara organisasi tidak mengurus soal amaliah. Sementara Lafran Fane sendiri memulai semangat menyatukan mahasiswa dengan metode shalat berjamaah di surau kaum dan masjid lalu berdiskusi tentang keislaman, kemahasiswaan dan keindonesiaan (Tirtosudiro dkk:2015. 7), inilah yang dinamakan pendekatan. Artinya amaliah keagamaan itu dapat dijadikan satu instrument dalam membangun sikap (Afektif) dan semangat juang, bukankah kegagalan sistem perkaderan hari ini adalah membangun ranah sikap itu (afektif).

Oleh karena itu, dalam konteks visi, misi dan strategi barangkali perlu dibaca dengan cara orientasi dan meformulasi menuju rekonstruksi. Artinya ada upaya yang dilakukan secara sistematis untuk mengevaluasi tentang apa yang telah dilakukan. Jadi, perlu kiranya semacam study kritis untuk melihat dan menilai proses yang telah berjalan selama ini. Untuk menilai proses yang telah berjalan, tidak arif rasanya jika kita lihat secara sepotong-sepotong, tapi harus dari semua sisi sudut yang utuh (integral) agar tidak terkesan menghakimi per-rezimnya (priode).

Dalam paham kausalitas bahwa awal punya titik hubung dengan akhir. Jika HMI per-priodenya merupakan satu-kesatuan yang berkelanjutan, maka suatu hal yang tak terpisahkan bahwa degradasi yang terjadi di tubuh HMI ada titik hubung yang nyata dari lemahnya warisan pendulu. Oleh karenanya diperlukan keinsafan bersama dalam memperbaiki yang dipandang kurang agar tidak terkesan ego.

Sejak dibentuknya HMI Cabang Tembilahan pada tahun 2003 dan hingga kini berada di tahun 2017 berarti lebih kurang 14 tahun sudah usianya. Hingga kini belum juga kunjung mewariskan pola perkaderan yang baik. Pola perkaderan yang dimaksud adalah pola perkaderan yang sistematis dan terarah, dirancang sesuai kebutuhan lokal dengan merujuk pada pedoman nasional. Sementara yang diterapkan selama ini merupakan sistem pelatihan lepas tanpa metode yang terarah, piranti perkaderan yang tepat serta indikator penilaian yang jelas. Perkaderan merupakan sebuah proses mengolah manusia terutama sikapnya sebagaimana yang menjadi target Latihan Kader I (LK I) yaitu membentuk ranah afektifnya.

Kealpaan ini merupakan konsekuensi logis dari outpun yang dihasilnya. Karena kader yang dikader tidak diproses melalui rekayasa sumberdaya tapi lebih kepada proses yang alami, maka hasinyapun tak bisa terkendali. Saat tertentu mereka menampakkan wujud sebagai seorang kader, namun disaat tertentu pula menampakkan wujud yang lain. Makanya dinamika yang lebih dominan di tubuh HMI hari ini lebih kepada dinamika politis ketimbang dinamika ilmiah.

Keringnya kemarau makna yang dirasakan akhir-akhir ini belum juga kunjung dihujani oleh gagasan segar yang menghentakkan kebekuan, Mereka seakan-akan telah kehilangan panduan.  Ciri khas yang melekat seperti berpikir kritis, sistematis, objektif, ilmiah dan hanif (berpihak pada kebenaran) kini sudah melemah oleh pengaruh eksternal, gerakannyapun cenderung berada dipusaran kendali oleh orang lain. Inilah akibat logis dari tradisi struktural yang diwariskan tanpa dibangun pondasi kultur. Pondasi kultur hanya bisa terbangun melalui sistem dan tradisi perkaderan yang baik.

Orientasi Perkaderan

HMI dipandang beda dengan yang lain adalah soal perkaderan. Sistem perkaderan yang baik akan dapat membangun cara pandang, cara pandang tentang diri, tentang agama, Indonesia dan dunia. Maka, HMI sesungguhnya bukanlah soal gaya dan show, tapi sikap sadar untuk mengembangkan diri kemudian dari diri yang terkembangkan itu bagaimana dapat memberi fungsi bagi Islam dan Negara-bangsa (nation state). Karena dua hal yang membuat manusia bernilai, pertama; Ilmu yang ia miliki, kedua bagaimana ilmu itu mampu diaplikasikan menjadi amal yang bermanfaat untuk orang banyak. Jadi, sesungguhnya tidak terlalu subtansi bagi kita untuk bicara soal siapa yang sudah LK 2 dan LK 3. Karena fokus kita adalah soal fungsi bukan semata soal status, ketika fungsi sudah dijalankan maka status akan naik secara otomatis. Oleh karena itu orientasi perkaderan HMI kedepan adalah benar-benar membina sikap, yang menjadi prasyarat untuk menghantarkan kearah sana adalah dengan cara memperkuat sistem perkaderan. Memperkuat sistem perkaderan adalah dengan cara merenovasi lemahnya proses perkaderan yang diterapkan selama ini. Inilah sebuah jalan baru bagi HMI canbang Tembilahan jika ingin tetap menjadikan HMI sebagai gerakan ideologis ketimbang politis.

Oleh: AHMAD TAMIMI