Kisah Pilu Pejuang '45 Dituduh PKI, Dibui 15 Tahun di Nusakambangan

Ahad, 13 Agustus 2017

INHILKLIK.COM, JAKARTA - Hadi Pranoto (89), seorang pejuang sejati, mantan anggota Tentara Pelajar, asal Sukoharjo ini punya kisah yang tak terlupakan. Meski di zaman serba modern dan usianya yang sudah senja, perjuangannya tak surut dilekang waktu.

Bagi kakek kelahiran, Desa Banaran, Kecamatan Grogol, Sukoharjo ini, hidup haruslah bermanfaat bagi orang lain. Jika dulu dia berjuang untuk kebebasan Negara Republik Indonesia dari penjajah, sekarang dia pun tetap konsisten berjuang demi kepentingan masyarakat banyak.

Perjuangan Hadi dimulai sejak tahun 1946, ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Banjarsari, Solo. Ia menjadi saksi hidup peristiwa perang kemerdekaan di Kota Solo atau lebih dikenal dengan Serangan Umum Surakarta atau Serangan Umum Empat Hari, 7 -10 Agustus 1949 .

Bahu membahu dia bergerilya bersama para pejuang, pelajar dan mahasiswa. Para pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai Tentara Pelajar. Sebuah korps pejuang yang dibentuk oleh Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya.

"Dulu itu pamitnya ke orangtua ya sekolah. Tapi sampai sekolah kita ikut perang sama teman-teman. Senjatanya ya seadanya, bambu runcing, pecok, pedang, keris, tombak dan lain-lain. Semangat kita cuma satu, mengusir Belanda dari Solo," ujar Hadi, saat ditemui merdeka.com di kediamannya, Jumat (11/8).

Menurut Hadi, serangan 4 hari di Solo digagas di kawasan Monumen Juang 45, Banjarsari, Solo. Untuk menyusun serangan, para pejuang kemudian berkumpul di Desa Wonosido, Kabupaten Sragen. Dari situlah ide untuk melakukan serangan umum dikobarkan.

"Waktu itu saya bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi," kenangnya.

Untuk menggempur markas Belanda, kata dia, serangan dilakukan dari 4 penjuru kota Solo.

Rayon I dari Polokarto Sukoharjo dipimpin Suhendro, Rayon II dipimpin Sumarto. Sementara itu Rayon III dengan komandan Prakosa, Rayon IV dikomandani A Latif, serta Rayon Kota dipimpin Hartono.

"Menjelang pertengahan pertempuran, Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan Senopati ikut bergabung. Dia bahkan menjadi tokoh kunci dalam menentukan jalannya pertempuran," ucap Hadi yang masih jelas dan kuat daya ingatnya.

Meski berstatus sebagai pelajar, Hadi muda lebih sering menghabiskan waktunya untuk berperang. Ia bergabung dengan sejumlah front di wilayah Solo, Boyolali, dan Karanganyar. Kendati lebih sering berada di medan perang, namun kedua orang tua Hadi bisa memakluminya. Mereka selalu berdoa untuk keselamatan anak kesayangannya.

Menjadi kebanggaan diri dan keluarga, saat Hadi ditawari untuk melanjutkan sekolah atau menjadi tentara. Kondisi ekonomi orangtua yang kekurangan, membuat Hadi memilih menjadi tentara, seusai perang berakhir dan pengakuan Belanda atas kedaulatan RI.

"Tahun 1950 saya bergabung menjadi tentara di Batalyon 609 Angkatan Darat dan ditugaskan di Banjarmasin hingga berpangkat Sersan Dua," katanya.

Pengalaman menjadi tentara yang sering berpindah tugas, membuat Tutiati istrinya mengeluh. Atas pertimbangan keluarga, Hadi pun akhirnya keluar dari tentara. Ia kemudian bertugas sebagai kepala penilik di Lapas Banjarmasin.

"Tahun 1960 saya diminta tugas ke Lapas Boyolali sebagai Kepala Bagian Reclasseering," katanya.

Namun, sayangnya karirnya sebagai petugas Lapas Boyolali tak berlangsung lama. Ia pun mengaku terkena fitnah saat pecah gerakan G/30/S PKI (gestok). Hadi diinterogasi karena namanya masuk dalam daftar B,

hingga dinyatakan telah terlibat gerakan terlarang itu. Ia pun kemudian dijebloskan ke penjara di Nusakambangan.

Selama 15 tahun Hadi melakoni hukuman, tanpa tahu apa kesalahannya. Ia mengaku baru mengenal komunisme sejak dirinya bertemu dengan orang-orang penganut paham itu di Nusakambangan.

"Teman-teman saya di penjara Nusakambangan menyebut komunis itu sebagai ideologi perjuangan kelas tertindas melawan imperialisme dan kapitalisme," tandasnya.

Hadi menceritakan, banyak tahanan yang meninggal di Nusakambangan akibat kelaparan. Namun kemudian kondisi berangsur membaik setelah sebagian tahanan dipekerjakan untuk bercocok tanam dan membudidayakan ternak sebagai sumber pangan.

Usai menjalani penahanan selama 15 tahun di Nusakambangan, tahun 1980, Hadi keluar dari penjara, saat pembebasan massal. Ia pun akhirnya kembali ke keluarganya di Solo. Namun Hadi tidak memperoleh hak pensiun. Ia juga sulit memperoleh pekerjaan yang layak karena statusnya sebagai eks-tapol.

Hadi menganggap penahanannya di Nusakambangan sebagai pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Karena ia merasa tak bersalah saat ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan.

"Masa depan saya direnggut, saya dituduh PKI, atau eks-tahanan politik seumur hidup," keluhnya.

Saat dibui, Hadi dan keluarganya bukannya tanpa perlawanan. Tutiati istrinya pernah menjenguk dan mengatakan bahwa suaminya bukan anggota atau simpatisan PKI. Untuk meyakinkan jika suaminya bukan PKI, Tutiati pun kemudian memperlihatkan

lencana bintang sebagai bukti bahwa Hadi adalah veteran pejuang dan juga pernah berdinas di AD.

Bukannya dipercaya, bahkan seorang tentara justru menginjak-injak bintang ia dengan kakinya. Mereka tetap tidak percaya dan menuduh bahwa Hadi seorang komunis.

"Tidak mungkin komunis ikut berjuang," kata Hadi menirukan tentara tersebut.

Lebih lanjut Hadi menceritakan, pada awal Reformasi, ia pernah menuntut rehabilitasi dan kompensasi haknya yang terampas. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Tahun 2007, istri Hadi meninggal dunia. Dari 5 anaknya, hanya satu anak laki-laki bungsu yang menemani. Karena tak mempunyai tempat tinggal, Hadi tinggal ditemani anak bungsunya di sebuah rumah kecil berukuran 30 meter persegi.

Hadi Pranoto 2017 Merdeka.com/arie sunaryo


Tempat tinggal yang sungguh tidak nyaman. Betapa tidak, di sisi kiri berbatasan dengan Sungai Laweyan Solo, merupakan tempat pembuangan sampah. Sedangkan di sisi kanan adalah sebuah makam tanpa pagar. Lebih ironis, di tempat tersebut Hadi hanya menumpang. Tanah tersebut milik pemerintah.

"Kami membangun rumah ini dengan dana bantuan desa. Karena mbah Hadi sebagai penunggu di sini. Jadi sifatnya hanya magersari," jelas Kepala Desa Banaran, Suparmin.

Di tempat tersebut, Hadi dipercaya untuk mengelola sampah. Ada 20 anggota paguyuban gerobak sampah yang menjadi anak buahnya. Namun dia tak mendapatkan gaji apapun dari pemerintah.

"Paling kalau ada yang ngasih uang ya saya terima, biasanya dari pemulung, kalau ada kelebihan," katanya.

Selain dari pemulung, Hadi juga dipercaya warga untuk mengelola toilet. Dari kegiatan tersebut, ia memperoleh upah hanya Rp 60 ribu per bulan. Jumlah tersebut tentu tidaklah cukup untuk biaya hidup. Beruntung ia mempunyai anak bungsu yang bisa mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.

"Anak saya yang terakhir ini laki-laki. Kerja di Batik Keris, dia yang menemani saya di sini," ucapnya.

Meski hidupnya tak berkecukupan, tak lantas membuat Hadi mengeluh atau meninggalkan pekerjaannya. Meski juga tak mendapatkan upah saat mengelola sampah sejak tahun 1986, namun semangat mengabdi, berjuang yang melekat, membuat Hadi tetap bertahan.

"Yang penting saya bisa mengabdi, yang penting saya berguna bagi orang banyak," tuturnya bangga. (mdk)