Korut, AS, Yerusalem... 5 Skenario Perang Dunia III di Tahun 2018

Jumat, 05 Januari 2018

INHILKLIK.COM, JAKARTA - Sepanjang tahun 2017 ini, telah terjadi sejumlah peristiwa besar yang mengguncang global dan kerap disebut-sebut berpotensi sebagai penyulut Perang Dunia III.

Mulai dari serangan teroris di berbagai kota besar mancanegara, juga peningkatan tensi politik dan militer di penjuru dunia.

Selain itu, ancaman nuklir Korea Utara di kawasan Asia Timur dan kekhawatiran akan serangan balasan dari Amerika Serikat ke negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu semakin meningkatkan ketakutan akan konflik bersenjata berskala besar.

Memasuki pengujung tahun, beberapa di antara potensi penyulut Perang Dunia III itu memang sudah berakhir, salah satunya kekalahan ISIS di Irak dan Suriah.

Akan tetapi, sebagian besar pemantik konflik bersenjata berskala internasional masih tetap bertahan.

Bahkan, pada bulan ke-12, muncul 'pemantik-pemantik' baru, salah satunya isu Yerusalem yang cukup menyita perhatian dunia serta potensi kepemilikan Korea Utara atas senjata biologis dan kimia

Sebagai catatan, ingat Invasi AS ke Irak pada 2003? Salah satu pre-teks yang digunakan Washington DC untuk menyerbu Baghdad adalah dugaan kepemilikan Negeri 1001 Malam atas senjata biologis dan kimia.

Dan mungkin saja, memasuki 2018 yang tinggal menghitung jam, sebagian orang mulai mengkhawatirkan mengenai ancaman Perang Dunia III yang seakan nampak semakin nyata.

Dari berbagai contoh, berikut 5 skenario seputar Perang Dunia III yang mungkin terjadi pada 2018, seperti yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber (31/12/2017).

1. Kim Jong-un Melakukan Tindakan Gila

 

Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Un menyaksikan uji coba peluncuran rudal balistik Hwasong-12 di lokasi yang tidak diketahui pada foto yang dirilis Sabtu (16/9). Kim mengaku ingin "menyamai kekuatan militer Amerika Serikat. (STR / KCNA VIA KNS / AFP)

Faktanya adalah, Kim Jong-un memang memiliki misil jarak jauh. Dan, hulu ledak nuklir. Bahkan teranyar, ia diduga kuat memiliki senkata biologis dan kimia.

Fakta lain juga adalah, Korea Utara telah lama mempersiapkan diri mereka secara sistemik dan struktural untuk kemungkinan menerima serangan dan konflik terbuka dengan negara lain. Demikian seperti dikutip The Sun. 

Uji coba misil jarak jauh mereka misalnya, telah diprediksi oleh pengamat mampu menempuh sejumlah jarak untuk mengenai sasaran di Korea Selatan, Jepang dan bahkan Amerika Serikat.

Andaikata serangan itu berhasil dilakukan, maka dampaknya mungkin akan cukup serius bagi AS untuk melakukan serangan balasan secara efektif.

Skenario itu masih bersifat 50/50. Karena, meski Kim memiliki mengklaim hulu ledak nuklir, dunia masih belum mengetahui secara pasti apakah nuklir itu akan efektif.

Tapi tunggu, kehadiran Presiden Donald Trump dalam kancah perpolitikan global diprediksi dapat menjadi bandul pemberat bagi situasi di Korea Utara.

Pengamat memprediksi bahwa sikap Trump yang eksentrik dan sulit ditebak dapat memberikan kesan bagi Kim Jong-un bahwa AS akan sungguh-sungguh menyerang Pyongyang.

2. Efek Donald Trump Terkait Yerusalem

 

Presiden AS Donald Trump berdoa di Tembok Ratapan, tempat suci milik kaum Yahudi, di Yerusalem, Senin (22/5). Trump yang menganut Kristen Protestan, adalah presiden AS pertama yang mempunyai anggota keluarga inti orang Yahudi. (AP Photo/Evan Vucci)

John Andrews, pakar urusan internasional dan koresponden media asing veteran, mengatakan bahwa, "Trump merupakan tantangan nyata bagi para diplomat". Salah satu alasannya, menurut Andrews, adalah sikap Trump yang sulit ditebak dalam memproduksi sejumlah kebijakan luar negeri.

Tak hanya itu, tendensi sang presiden untuk selalu mengungkit sejumlah permasalahan politik melalui Twitter, dianggap semakin memperburuk situasi.

"Kita sudah terbiasa dengan pemimpin dunia yang sulit untuk diprediksi, seperti Kim Jong-un. Namun, setelah Pilpres AS 2016, kita mengenal satu lagi pemimpin dunia yang sulit diprediksi, yakni Donald J. Trump," tambah Andrews.

Situasi terbaru juga menunjukkan mengenai sikap Trump yang nampak semakin tak sabar untuk menekan Korea Utara terkait program nuklir yang dilakukan oleh Pyongyang.

Donald Trump Soal Yerusalem

Keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 6 Desember 2017 lalu juga diprediksi mampu memicu konflik bersenjata berskala besar. Apalagi mengingat betapa banyak negara yang menaruh perhatian pada isu tersebut.

Memang, sejak pengakuan itu, konflik yang terjadi hanya sebatas bentrokan antara demonstran Palestina dengan pasukan keamanan Israel dan terisolasi di kawasan dua negara.

Akan tetapi, andaikata jika ada satu negara yang mengirim pasukan militernya ke kawasan Israel - Palestina dan menempuh opsi perang sebagai solusi, maka, bukan tak mungkin sejumlah negara lain turut melakukan hal yang sama.

Malaysia misalnya. Seperti dikutip dari CNBC pada Senin (11/12/2017), usai mengutuk keputusan Donald Trump, Malaysia juga bersiap mengirim pasukan militernya ke Yerusalem. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Hishammuddin Hussein pada akhir pekan lalu.

"Kami siap menerima perintah dari Commander-in-Chief dari Angkatan Darat kami untuk mengirim pasukan bagi Yerusalem,... jika diperlukan," kata Hussein.

Menurut Menteri Hussein, pengakuan Trump itu merupakan tamparan keras bagi muslim. Meski siap mengerahkan pasukan, dia berharap krisis di Yerusalem tak meluas.

3. Korsel dan Jepang vs Korea Utara

 

Jalur Lintasan Rudal Korea Utara yang melintasi daratan Jepang dan Jatuh di Samudra Pasifik. (Screenshot NHK TV)

Secara teknis, Korea Selatan dan Utara merupakan negara yang masih dalam kondisi perang sejak Perang Korea pecah pada tahun 1950 hingga 1953. Enam puluh empat tahun kemudian, dua negara itu belum menandatangani perjanjian damai -- baru gencatan senjata.

Muncullah, Demilitarized Zone (DMZ) pada perbatasan kedua negara. Tensi militer pada perbatasan itu cukup tinggi dan seringkali diprovokasi oleh Korea Utara. Seperti penanaman ranjau yang melukai tentara Korea Selatan, penenggelaman kapal Korsel di wilayah perairan DMZ, dan pencatutan pulau Korsel oleh Korut.

Jeffrey Lewis, direktur East Asia Nonproliferation Program dari Middlebury Institute of International Studies Lewis menilai, skenario buruk dapat terjadi apabila Korsel melakukan provokasi balasan. Negeri Ginseng dilaporkan memiliki sejumlah misil kendali jarak jauh yang khusus ditujukan untuk menyerang Kim Jong-un.

Namun, serangan balasan berupa hantaman nuklir dari Kim juga ditakutkan oleh Korea Selatan.

Maka, kata Lewis, hanya menunggu waktu hingga Korut melakukan provokasi yang kelewat batas dan Korsel telah habis kesabaran.

Partisipasi Jepang

Negeri Sakura cenderung diam pada tensi militer di Semenanjung Korea yang tak berada jauh dari wilayahnya.

Namun, ada indikasi bahwa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe juga ingin memiliki misil kendali jarak jauh yang dapat dibeli dari AS. Dan, jika Jepang juga akan memilikinya, tensi militer kian meningkat.

Menurut Lewis, hanya tinggal menunggu waktu untuk skenario terburuk dapat terjadi ketika hampir seluruh negara di Asia Timur memiliki rudal jarak jauh.

Horor Perang Dunia III bukan tak mungkin terjadi di tengah situasi politik global yang karut-marut.

4. Manuver Rusia di Eropa

 

Kapal selam militer Rusia di laut Kaspia yang akan melontarkan rudalnya kearah tempat Militan ISIS di Suriah. Rudal tersebut merupakan rudal jelajah yang bisa ditentukan lokasi yang dituju. (Kementerian Pertahanan Rusia)

NATO melaporkan bahwa sejumlah kapal selam Rusia tengah meningkatkan presensi dan aktivitasnya di Laut Atlantik Utara sejak beberapa waktu terakhir.

Aktivitas itu, menurut penilaian NATO, merupakan sebuah langkah agresif dari Rusia yang mampu mengganggu stabilitas di kawasan serta berpotensi memicu sejumlah masalah lain.

Meningkatnya tensi militer tinggi di kawasan -- serupa periode Perang Dingin -- dan mengancam keamanan kabel jaringan telekomunikasi vital yang berada di bawah Laut Atlantik Utara, merupakan konsekuensi dari aktivitas kapal selam Rusia itu. Demikian seperti dikutip dari The Hill, Senin (25/12/2017).

NATO khawatir, kabel bawah laut penyalur transmisi komunikasi dan internet untuk kawasan Eropa serta Amerika Utara itu sewaktu-waktu dapat dibajak oleh kapal selam Rusia tersebut.

"Kami melihat adanya peningkatan aktivitas kapal selam Rusia di dekat kabal bawah laut (di Atlantik Utara)," kata Komandan Gugus Tempur Kapal Selam NATO, Laksamana AL Amerika Serikat, Andrew Lennon.

"Jelas bahwa Rusia memiliki agenda di kawasan dan infrastruktur bawah laut (yang dikelola oleh) NATO," tambahnya.

Sementara itu, Inggris -- yang merupakan anggota NATO -- memperingatkan, jika Rusia berhasil membajak kabel-kabel tersebut, maka aktivitas ekonomi-perdagangan global dan transmisi intelijen rahasia negara Barat dapat diketahui atau diganggu oleh Negeri Beruang Merah.

"Dapatkah kalian membayangkan skenario di mana kabel-kabel itu diganggu atau disadap (oleh Rusia) serta berbagai dampak yang merugikan dari aktivitas tersebut?" kata Kepala Staf Senior AU Inggris, Jenderal Stuart Peach beretorika.

Aktivitas kapal selam Rusia juga berpotensi memicu tensi militer tinggi di kawasan. NATO sendiri mengumumkan akan mengaktifkan kembali Gugus Komando Militer -- yang dulu sempat dinonaktifkan ketika Perang Dingin berakhir.

Aliansi Militer Negara Atlantik Utara itu juga tengah mengembangkan strategi tempur anti-kapal selam menyusul meningkatkanya aktivitas militer Rusia di kawasan.

Hingga kini, Rusia belum memberikan komentar terkait tudingan NATO tersebut.

NATO Aktifkan Gugus Tempur Pemburu Kapal Selam Rusia

Awal tahun lalu, Rusia memang mengakui bahwa mereka tengah meningkatkan aktivitas kemaritimannya, terkhusus dalam aspek kapal selam.

"Lebih dari 3.000 hari di laut untuk armada kapal selam Rusia. Ini pertanda yang bagus," kata Laksamana Vladimir Korolev, Komandan Angkatan Laut Rusia awal tahun ini.

Ia melanjutkan bahwa intensitas aktivitas itu merupakan titik teringgi yang pernah dilakukan oleh Rusia, terhitung sejak berakhirnya Perang Dingin.

Aktivitas itu memicu NATO mengaktifkan kembali gugus tempur pemburu kapal selam yang sebelumnya sempat dipensiunkan pada akhir Perang Dingin.

Amerika Serikat, sebagai salah satu anggota NATO, adalah negara yang intens berpartisipasi dalam revitalisasi gugus tempur pemburu kapal selam itu.

Dalam beberapa bulan terakhir, Angkatan Laut AS telah menerbangkan pesawat anti-kapal selam di wilayah di mana Rusia diketahui mengoperasikan alutsistanya.

Pada hari Kamis pekan lalu, misalnya, salah satu pesawat AS meluncur dari Pangkalan Angkatan Laut Sigonella di Sisilia, Italia, demi menegaskan presensi mereka di Laut Mediterania -- salah satu kawasan NATO yang dilaporkan terjadi peningkatan presensi kapal selam Rusia.

5. Prediksi Pemenang Perang Dunia III

 

Ilustrasi parit pertahanan Perang Dunia I, Cheshire Regiment di Somme, 1916. (Sumber Wikimedia Commons/Imperial War Museums/John Warwick Brooke)

Dipicu ketegangan di Korea Utara, sejumlah orang mengklaim, konflik global atau Perang Dunia III bisa menjelang dalam waktu dekat.

Jika itu sampai terjadi, akibatnya sungguh tak terbayangkan. Saat ini, satu senjata termonuklir yang bobotnya melebihi 1.000 kilogram punya daya ledak setara 1,2 juta ton TNT.

Situasi semakin memburuk ketika hampir semua kekuatan tempur utama di dunia saat ini punya kekuatan destruktif. Diperkirakan ada sekitar 22.000 hulu ledak nuklir -- yang bisa memicu sebuah 'kepunahan massal' di muka Bumi jika digunakan secara bersamaan.

Bom atom yang dijatuhkan AS ke Hiroshima dan Nagasaki adalah kejadian kali pertama dan terakhir senjata nuklir digunakan dalam perang -- sebuah kebijakan militer paling kontroversial secara moral, politis, dan historis.

Meski demikian, fakta menunjukkan, sejumlah negara terus memperbesar anggaran militer mereka untuk segala jenis persenjataan -- dari yang 'kurang' mengerikan hingga diam-diam mengembangkan senjata nuklir.

Hingga kini, sulit untuk menentukan siapa pemenang perang yang belum terjadi.

Namun, secara kasat mata, Amerika Serikat diprediksi akan memenangi konflik terbuka, mengingat banyaknya aset militer yang dimiliki oleh Negeri Paman Sam.

Menurut The Sun, AS memiliki 187 jet tempur F-22 dan F-35; 14 kapal selam pembawa 280 rudal berhulu ledak nuklir, 4 kapal selam pembawa 154 misil Tomahawk, dan 54 kapal selam tempur bertenaga nuklir.

Jumlah itu jauh lebih digdaya jika dibandingkan dengan negara besar lain seperti Rusia dan China. Sampai 2014, AS juga diduga mempunyai 7.300 senjata nuklir.

Itu belum termasuk dukungan dari para sekutu Washington.

Kini Rusia dilaporkan tengah mengembangkan satu jet tempur siluman. Sedangkan, untuk kapal selam, Negeri Beruang Merah hanya memiliki 60 unit.

Meski jumlah itu jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang dimiliki Presiden Trump, namun Moskow diduga memiliki sejumlah kapal selam dengan kemampuan siluman.

Selain itu, untuk meningkatkan kapabilitas persenjataan nuklir, mantan seteru AS pada Perang Dingin tersebut dilaporkan tengah mengembangkan torpedo nuklir berbobot 100 megaton.

Untuk senjata nuklir, negara pecahan Uni Soviet itu diperkirakan memiliki 8.000 senjata nuklir.

Negeri Tirai Bambu juga tengah meningkatkan kapasitas alutsistanya. Menurut laporan, China sedang mengembangkan empat jet dengan kemampuan siluman.

Sementara itu, untuk kapal selam, Negeri Tiongkok memiliki 5 unit bertenaga nuklir, 53 unit bertenaga diesel, dan 4 unit berhulu ledak nuklir. Saat ini, China diduga memiliki 240 senjata nuklir.

Masing-masing negara masih terus mengembangkan kapasitas alat tempurnya. Selain AS, Rusia, dan China, sejumlah kekuatan dunia juga aktif mengembangkan sistem militernya.

Enam negara -- Inggris, Prancis, India, Pakistan, Korea Utara, Israel -- juga diam-diam diduga kuat mengembangkan nuklirnya. Yang bukan untuk tujuan damai. (l6c)