Guru 3P

Jumat, 27 Februari 2015

post

Riyanti saat mengajar (Foto: Istimewa)

Oleh Riyanti
(Relawan Sekolah Guru Indonesia, Alumni SMA N 1 Kateman, Indragiri Hilir)

Suatu fenomena unik di negeri kita adalah tentang kurikulum pendidikan kita yang seringkali berubah. Baru-baru ini dapat kita nikmati pemandangan “kebingungan” guru-guru di seantero nusantara tentang kurikulum mana yang akan digunakan dalam pembelajaran. Bagaimana tidak, belum genap setahun kurikulum 2013 diterapkan, pemerintah telah mengumumkan bahwa kurikulum 2013 perlu dikaji ulang dan sekolah  dipersilahkan kembali menggunakan kurikulum KTSP, atau tetap menggunakan kurikulum 2013 bagi sekolah yang telah menerapkan kurikulum 2013 lebih dari satu  semester. 

Jika kita tinjau kembali, akhir-akhir ini kurikulum berubah seiring pergantian pemerintahan, sampai-sampai menjadi lumrah ketika ganti pemerintah kurikulum juga harus diganti. Padahal, tidak juga harus begitu. Lalu, apakah ini salah pemerintah yang main ganti-ganti kurikulum sehingga membuat guru kelabakan? Mari kita renungkan bersama-sama. 

Kurikulum adalah sebuah jalan yang akan menghubungkan kita pada tujuan pendidikan. Karena kurikulum adalah jalan, kurikulum bukan hanya satu-satunya komponen yang membawa anak bangsa pada tujuan pendidikan. Selain jalan, kita masih membutuhkan kendaraan berupa sekolah dan sopir yang tidak lain adalah guru. Lalu, dalam sebuah perjalanan besar kita perlu memiliki sopir yang handal. Tentu, kita butuh guru-guru handal untuk membawa anak-anak bangsa  agar sampai pada tujuan pendidikan.

Kembali kepada kurikulum. Sebagai jalan, kurikulum kudu benar-benar pas agar proses menuju tujuan tidak mengalami banyak hambatan. Lagi-lagi pemerintah tentu  ingin memberikan jalan terbaik. Nah, pergantian kurikulum saya pikir merupakan proses pencarian jalan terbaik yang dilakukan oleh pemerintah. Maka sungguh tidak bijak jika kita menyalahkan pemerintah begitu saja.

Untuk tetap menjalankan kendaraan pendidikan (meski kurikulum dirasa masih belum pas),guru tetaplah menjadi komponen penting  dalam menjalankan roda pendidikan kita. Mau jelek dan berliku-liku jalannya, seorang sopirlah yang akan dimintai tanggung jawab ketika terjadi kecelakaan. Begitu juga dengan pendidikan, mau jelek atau bagusnya kurikulum, tetaplah guru yang pertama akan dimintai tanggung jawab ketika siswanya mengalami masalah.

Menanggapi hal ini, jauh sebelum orang-orang membingungkan kurikulum, Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa (SGI - DD) telah menggagas sebuah konsep guru yaitu konsep guru 3P. 3P merupakan singkatan dari Pengajar, Pendidik, Pemimpin. Dalam konsep ini, seorang guru dituntut untuk menjalankan tiga peran sekaligus sebagai pengajar, pendidik dan pemimpin. Mengingat sosok guru adalah seseorang yang digugu dan ditiru, menjadi pengajar, pendidik dan pemimpin sekaligus menjadi syarat sahnya seorang guru. Kita bisa bayangkan seorang guru yang pintar mengajar tapi tak mampu mendidik, akan bermasalah pada sikap dan karakter siswa yang tidak terbangun dengan baik. Pandai mendidik tak pandai mengajar pun akan menjadi masalah pada sisi kedalaman wawasan dan ketrampilan yang akan diperoleh siswa.  Nah, di masyarakat pun seorang guru dituntut memiliki peran aktif.

Dalam konsep 3P, selain mengajar guru dituntut untuk terus belajar. Mengikuti perubahan zaman yang terus bergulir, seorang guru harus terus menempa diri agar tidak tergerus arus dan mampu menyelamatkan generasi penerus. Menempa diri dengan belajar akan menjadikan guru memiliki kesiapan untuk terus menjalankan perannya dengan baik. Pengajar, pendidik dan pemimpin membutuhkan keterampilan yang harus terus diasah dan dikembangkan. Ini berarti, jika seorang guru memutuskan berhenti belajar, itu sama saja menanggalkan peran dan fungsi pokoknya menjabat seorang guru. 

Jadi, ketika kurikulum berubah dan guru enggan belajar lagi, siapa yang akan menjalankan kurikulum tersebut? Meski kurikulum bagus, tetapi guru tak menjalankan perannya, ini akan menjadi masalah yang sangat besar. Untuk itu, jangan pusingkan diri dengan perubahan kurikulum. Berbenah diri menjadi guru 3P tentu akan lebih baik ketimbang merutuki kebijakan yang berubah-ubah. Semoga kedepannya, satu guru mampu menularkan 3P pada beberapa guru lain untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik. (*)