Disnaker Inhil Belum Terima Salinan Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja

Kamis, 08 Oktober 2020

Bazaruddin

TEMBILAHAN - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (5/10/2020), telah mengetok palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang.

Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.

Dengan adanya pengesahan UU tersebut maka warga negara Indonesia akan mematuhi peraturan baru yang ada dalam Omnibus Law atau Undang-undang Cipta Kerja.

Di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) sendiri Pemerintah Daerah (Pemda) melalui Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) mengaku belum menerima salinan UU Omnibus Law yang akan diterapkan.

"Kabarnya sudah disahkan di Pusat tapi kami belum menerima salinan UU Cipta Kerja itu, jadi kami belum bisa memberi komitmen aturannya, nanti akan simpang siur pula sistem di lapangan," ujar Kepala Disnakertrans melalui Kabid Ketenagakerjaan Bazaruddin, dikutip dari Indragirione.com.

Memang UU Cipta Kerja sudah disahkan namun pelaksanaannya belum ditentukan. Ia mengatakan dalam ketentuan hukum, peraturan UU bisa dilaksanakan pada saat diundangkan, bisa berlaku turut atau bisa 2 tahun kedepan.

"Semua pihak baik instansi terkait, perusahaan, pekerja/serikat pekerja agar dapat menunggu kebijakan dan petunjuk selanjutnya dari pemerintah, terkait Omnibus Law" tukasnya.

Ia berharap dalam penetapan UU Omnibus Law atau Cipta Kerja masyarakat Kabupaten Inhil agar tidak terpengaruh dengan berita dan informasi yang tidak benar beredar di media sosial.

"Kami terus koordinasi dengan Intel dan Reskrim Polres Inhil menyaring informasi yang tidak benar, ada yang bilang inilah, itulah, macam, jadi jangan percaya karena salinan itu belum kami dapat," sebut Bazaruddin.

Adapun Poin-poin penting
RUU cipta kerja klaster ketenagakerjaan dari Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia sebagai berikut:
•Terdapat prinsip-prinsip umum yang dipatuhi dalam penyusunan Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja, yaitu:
-Penyusunan ketentuan klaster ketenagakerjaan memperhatikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU 13/2003.
-Ketentuan mengenai sanksi ketenagakerjaan dikembalikan kepada UU 
13/2003.

•RUU Cipta Kerja tetap mengatur syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh PKWT yang menjadi dasar dalam penyusunan perjanjian kerja. Disamping itu, RUU Cipta Kerja mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi kepada pekerja/buruh pada saat berakhirnya PKWT.

•Syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh dalam kegiatan Alih Daya (outsourcing) masih tetap dipertahankan. Bahkan RUU Cipta memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian Perusahaan Alih Daya sepanjang objek pekerjaannya 
masih ada. Hal ini sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011. 

Disamping itu, dalam rangka pengawasan terhadap Perusahaan Alih Daya, RUU Cipta Kerja juga mengatur syarat-syarat perizinan terhadap Perusahaan Alih Daya yang terintegrasi dalam sistem Online Single Submission (OSS).

•Ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat tetap diatur seperti UU eksisting (UU 13/2003) dan menambah ketentuan baru mengenai pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat pada sektor usaha dan pekerjaan tertentu. Hal ini untuk mengakomodir tuntutan perlindungan pekerja/buruh pada bentuk-bentuk hubungan kerja dan sektor tertentu yang di era ekonomi digital saat ini berkembang secara dinamis.

•RUU Cipta Kerja tetap mengatur hak-hak dan perlindungan upah bagi pekerja/buruh sebagaimana peraturan perundang-undangan eksisting (UU 13/2003 dan PP 78/2015) dan selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang baru.

Terdapat penegasan variabel dan formula dalam penetapan Upah Minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Selain itu, ketentuan mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota tetap dipertahankan. Dengan adanya kejelasan dalam konsep penetapan Upah Minimum dimaksud, maka RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran Upah Minimum.

Disamping itu, dalam rangka memperkuat perlindungan upah bagi pekerja/buruh serta meningkatkan pertumbuhan sektor usaha mikro dan kecil, maka RUU Cipta Kerja mengatur ketentuan pengupahan bagi sektor usaha mikro dan kecil.

•Dalam rangka perlindungan kepada pekerja/buruh yang menghadapi proses pemutusan hubungan kerja (PHK), RUU Cipta Kerja tetap mengatur ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara PHK. 

RUU Cipta Kerja tetap memberikan ruang bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya yang sedang mengalami proses PHK.

RUU Cipta Kerja semakin mempertegas pengaturan mengenai “upah proses” bagi pekerja/buruh selama PHK masih dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incraht). Hal ini sebagaimana amanat Putusan MK No.37/PUU-IX/2011.

Kemudian dalam rangka memberikan jaminan sosial bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK, RUU Cipta Kerja mengatur ketentuan mengenai program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang manfaatnya berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.