Terumbu Mabloe dan Menongkah, Wisata dan Budaya yang Mempesona

Ahad, 28 Februari 2021

Pengunjung Pantai Terumbu Mabloe di Desa Sungai Bela, Kabupaten Indragiri Hilir mencoba menongkah kerang.

INHILKLIK.COM, TEMBILAHAN - Destinasi Wisata di Desa Sungai Bela, Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra), Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) belakangan menjadi primadona objek wisata yang dilirik oleh wisatawan. Objek wisata Pantai Terumbu Mabloe yang berada tidak jauh dari Desa Sungai Bela disana menyuguhkan pantai berpasir serasah dengan jejeran pohon mangrove akan memanjakan mata bagi siapa yang berkunjung kesana. 

Tidak hanya itu pesona ekowisata tersebut, hamparan lumpur luas yang berdempet langsung dengan pantai tersebut menjadi lokasi menongkah yang biasa dilakukan oleh Suku Duanu yang tinggal di Desa Sungai Bela bisa menjadi sarana rekreasi yang sangat menarik. 

Bahkan bagian pesisir timur Sumatera ini juga menyajikan keindahan flora. Disana terdapat hutan mangrove dari berbagai macam jenis pohon hutan tertata secara alami, umumnya pohon Pedada, Perepat, dan Avicennia atau lebih dikenal dengan sebutan Kayu Api-api. 

Terkait hal ini, penulis mengkaji Filosofi Terumbu Mabloe. Singkatnya, Ekowisata ini erat sekali kaitannya dengan budaya warga tempatan, terutama Budaya Suku Duanu yakni Menongkah Kerang. 

Menongkah ini mereka lakukan dengan alat yang disebut tongkah. Tongkah adalah papan sepanjang 1,5-2 meter yang menjadi tumpuan atau titian yang biasanya dipasang pada tempat becek dan basah (lumpur). Teknik menongkah dilakukan dengan satu kaki bertumpu pada tongkah sedangkan kaki lainnya berfungsi sebagai pengayuh agar papan tongkah bisa melaju di lumpur. 

Meski awalnya kegiatan manongkah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat Suku Duanu. Namun, sejak 2017 Menongkah telah dikukuhkan oleh pemerintah pusat sebagai Warisan Budaya Tak Benda. 

Pantai Terumbu Mabloe tadi disiapkan sebagai destinasi wisata yang menyajikan budaya menongkah, keindahan mangrove, dan menikmati pasir pantai itu sendiri. 

Berdasarkan KBBI, arti Terumbu sudah jelas dangkalan di laut yang tidak terlalu luas, atau sering kelihatan apabila air surut. Benar adanya, Pantai Terumbu Mabloe akan hilang jika air laut sedang pasang. Para wisatawan hanya dapat menikmati dikala surut. Jadwalnya tidak menentu, bisa pagi, bisa sore, bahkan bisa malam. 

Sedangkan untuk Mabloe, sampai hari ini belum ada KBBI berilis makna yang tersurat. Wajar saja, Mabloe atau Mablu jika dibaca, adalah kosa kata asli dari Suku Duanu yang artinya Sungai Bela. 

Jika ada yang berpendapat Suku Duanu baru berkembang-biak kemarin sore, maka dapat dipastikan keliru. Sebab nyatanya, suku yang termasuk kategori Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Riau ini sudah lahir sejak zaman batu. 

Hal ini dibenarkan oleh salah seorang tokoh Suku Duanu, Sarpan dan selaras dengan catatan Dinas Pariwisata, Pemuda, Olahraga, dan Kebudayaan (Disparporabud) Kabupaten Inhil dalam Tabloid 'Inhil Nan Molek'. 

Makanya, kata Mabloe di Pantai itu sengaja ditulis dengan ejakan warisan masa kolonial yang pernah digunakan di Republik ini, yaitu Ejaan Van Ophuijsen sebagai tanda keberadaan Duanu sudah lahir sejak dahulu kala. 

Dari catatan sejarah, Suku Duanu sudah berkembang pada tahun 2500 SM sampai dengan 1500 SM. Mereka tinggal di pinggiran pantai Kabupaten Inhil. Dan tradisi menongkah tadi, kala itu mereka sudah melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Suku Duanu ini termasuk suku nomaden. Artinya, mereka suka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau lain, atau dari satu ceruk ke ceruk lain. 

Tidak ada pedoman khusus untuk kata Duanu. Sebab dalam catatan Wikipedia, maka yang muncul adalah 'Duano' yakni satu jenis bahasa yang digunakan orang kuala yang persebarannya meliputi pesisir timur Provinsi Riau, Kepulauan Riau bagian barat, dan sebagian pesisir barat Johor, Malaysia. Bahkan Wikipedia juga merilis kata 'Duano' sebagai jenis suku yang terletak di Tanjung Solok, Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi yang berpusat di Jalan Trio Perkasa. 

Lain Wikipedia, lain pula KBBI. Dalam catatan kamus yang dipedomani masyarakat Indonesia ini hanya terdapat kata 'Duane' artinya instansi pemerintah yang bertugas di pelabuhan udara atau laut untuk menyelenggarakan dan mengawasi semua urusan yang berhubungan dengan bea cukai. Sejauh pengetahuan Sarpan, kata 'Duane' diambil dari Bahasa Belanda yakni Douane yang artinya penjaga laut. 

Kenyataannya memang benar. Pada masa kerajaan, masyarakat Suku Duanu ini difungsikan sebagai penjaga laut. "Mereka diberi kewenangan untuk menjaga pesisir pantai oleh raja. Salah satu contoh di wilayah kita adalah Kerajaan Indragiri," cerita Sarpan. 

Maka dari itu, slogan Pantai Terumbu Mabloe digaungkan dengan kalimat 'Piak Duanu Lap Ne Dolak', artinya tak kan Duanu hilang di laut. Apalagi jumlah populasi Suku Duanu saat ini sudah menyebar lebih kurang 17 ribu jiwa di Kabupaten Inhil. Terutama di wilayah pesisir seperti Kecamatan Kuindra, Kecamatan Concong, dan Kecamatan Tanah Merah. 

Pantai Terumbu Mabloe di Desa Sungai Bela, Kabupaten Inhil.

Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, Olaharaga dan Kebudayaan Kabupaten Indragiri Hilir, Junaidy, S.Sos, M.Si mengungkapkan, Pantai Terumbu Mabloe terbentuk dari cangkang kerang-kerangan. Kerang-kerangan diketahui berasal dari perairan Muara Lajau yang merupakan salah satu muara dari sungai Indragiri. 

Perpaduan antara pantai berlumpur dengan hutan Mangrove diharapkan akan menjadi daya tarik tersendiri bagi pantai yang hanya berjarak sekitar 5 menit dari bantaran Desa Sungai Bela jika menggunakan pompong--sampan atau perahu bermesin yang lumayan banyak digunakan di Kabupaten Indragiri Hilir. 

"Bagi kita dari sektor pariwisata, memang kita mengembangkan kawasan pesisir dalam satu konsep ekowisata," kata Junaidy yang turut serta mendampingi awak media di Pantai Terumbu Mabloe. 

Lokasi yang relatif dekat dari Kota Tembilahan--Ibu Kota Kabupaten Indragiri Hilir--membuat Pantai Terumbu Mabloe begitu potensial dikembangkan dan menarik pengunjung. Untuk mencapai Pantai Terumbu Mabloe dari Kota Tembilahan menggunakan speedboat, hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam. 

Sayangnya, wisatawan hanya dapat berkunjung ke Pantai Terumbu Mabloe di waktu tertentu, yakni ketika air sungai surut. Pantai Terumbu Mabloe akan hilang dari pandangan sesaat setelah air pasang dan akan kembali muncul ke permukaan ketika air surut. Fenomena ini lah yang membuat sebagian dari kawasan pantai menjadi berlumpur. 

"Ini akan kita rancang pengembangannya. Kalau sudah kita tata, para pengunjung dapat rutin, misalnya di hari libur hadir di sini," tutur Junaidy. 

Selain masih alami, Pantai Terumbu Mabloe memiliki beragam jenis fauna, khususnya spesies burung yang tersebar di sekitar kawasan pantai. Hal tersebut dikarenakan Pantai Terumbu Mabloe merupakan persinggahan burung migrasi. Burung-burung migran itu umumnya berasal dari Asia Selatan. Namun, tak jarang juga berasal dari Australia dan Asia Timur. 

"Pantai ini juga termasuk sabuk hijau hutan Mangrove di pesisir pantai timur Sumatera," jelas Junaidy seraya mengatakan, kawasan Pantai Terumbu Mabloe dan sekitarnya termasuk ke dalam wilayah dengan sebutan Tanjung Bakung yang menjadi persinggahan burung migran di dunia berdasarkan pendapat para peneliti. 

Salah satu spesies burung migran di Pantai Terumbu Mabloe adalah burung Kedidi (Calidris). Burung Kedidi (Calidris) biasanya akan bermigrasi saat musim kawin. "Kalau salju besar Burung Kedidi juga akan migrasi dan bermain di sini (pantai, red)," ungkap Junaidy.