Kilas Balik 67 Tahun Lalu: Jalan Panjang dan Berat Mendirikan Provinsi Riau

Jumat, 09 Agustus 2024

INHILKLIK, - Tidak banyak yang tahu kalau Bali menjadi saksi terbentuknya Provinsi Riau 67 tahun lalu. Proses ini butuh perjuangan panjang para tokoh untuk memisahkan Riau dari Sumatera Tengah. Di hari ulang tahunnya yang ke-67, mari kita telaah kembali sejarah perjalanan panjang pembentukan Provinsi Riau.

Hari ini, Jumat (9/8/2024), Provinsi Riau genap berusia 67 tahun. Berbagai upaya pembangunan terus dilakukan untuk menyamakan perkembangan daerah ini sejajar dengan provinsi lain di Indonesia. Namun, sebelum mencapai kondisi seperti sekarang, Riau harus melewati perjuangan panjang dan berat untuk meyakinkan pemerintah pusat agar lepas dari Sumatera Tengah. Salahsatu alasan memisahkan diri menjadi provinsi sendiri adalah karena perlakuan tidak adil terhadap masyarakat Riau.

Dalam buku "Dari Percikan Kisah Membentuk Provinsi Riau" yang disusun Taufik Ikram Jamil, dan kawan-kawan, menyebutkan saat perjuangan pemekaran Riau kondisi Keresidenan Riau terlantar sejak disatukan dengan Pemerintah Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi tahun 1950. Bisa dikatakan, daerah ini nyaris tidak mendapatkan sentuhan pembangunan. Hal ini berbeda dengan Sumatera Barat yang terus menggeliat. Ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Sumatera Tengah yang dinilai sangat Sumatera Barat sentris. Lihat saja, sebagai perbandingan, ketika itu jumlah di Provinsi Sumatera Tengah tahun 1950-an terdapat 27 sekolah menengah pertama (SMP) negeri. Dari angka itu hanya empat SMP saja yang berada di keresidenan Riau yang tersebar di Pekanbaru, Rengat, Bengkalis dan Tanjungpinang. Selebihnya 21 SMP itu berada di Sumatera Barat, dan dua sekolah di Jambi. Tak hanya di bidang pendidikan, kondisi tidak jauh berbeda juga terjadi pada pengembangan ekonomi maupun sektor kehidupan masyarakat lainnya dimana Riau dianggap tidak prioritas dan masyarakat banyak yang hidup di garis kemiskinan.

Melihat ketidakadilan ini, masyarakat Riau berjuang untuk membentuk provinsi sendiri, meskipun menghadapi intimidasi dan upaya memadamkan perjuangan. "Ide pendirian provinsi awalnya hanya ada di tingkat elit dan tokoh masyarakat Riau. Namun saat itu pihak Provinsi Sumatera Tengah tidak mau memberikan apa yang diinginkan Riau, sehingga munculah intimidasi upaya penghalangan," cerita (alm) Wan Ghalib, salahsatu tokoh sentral dalam perjuangan pembentukan Provinsi Riau, dalam "Sejarah Terbentuknya Provinsi Riau" yang dikutip CAKAPLAH.com dari situs Kesbangpol Riau, (2016).

Dikutip dari laman yang sama, disebutkan pembentukan Provinsi Riau lepas dari Provinsi Sumatera Tengah mendapat tantangan dari penguasa waktu itu. Jika ada saja masyarakat yang berbicara tentang Provinsi Riau bersiap-siaplah akan dibawa ke kamp penjara di daerah Situjuh. "Pada masa itu sangat banyak aktivis Riau yang diantar dan dibuang ke kamp Situjuh tersebut. Jika sudah masuk dan diantar ke camp jawabannya pasti mati, tidak ada yang selamat jika sudah berada di dalam camp tersebut.  Saya termasuk tokoh yang paling dicari untuk dimasukkan ke dalam kamp Situjuh tersebut," cerita Wan Ghalib yang pernah menjadi Ketua Badan Penghubung Riau itu.

Akan tetapi tekanan demi tekanan tersebut tidak memadamkan api semangat para tokoh. Bahkan semangat mereka terus menyala. Salahsatunya dengan menggelar Kongres Rakyat Riau (KKR) ke-1 yang berlangsung di Pekanbaru pada 31 Januari hingga 2 Februari 1955. Kongres ini dihadiri oleh 277 perwakilan dari empat kabupaten yakni Indragiri, Kepulauan Riau, Kampar dan Bengkalis. Hadir pula 700 orang peninjau dalam kongres tersebut. Kongres ini melahirkan beberapa keputusan penting, salahsatunya menuntut supaya daerah Riau dijadikan daerah otonom setingkat provinsi.

Amanat yang dihasilkan dari KRR I menjadi tugas berat bagi Panitia Persiapan Provinsi Riau (PPPR) yang berpusat di Pekanbaru dan Badan Penghubung yang berpusat di Jakarta. Badan Penghubung yang dipimpin oleh Wan Ghalib menjadi ujung tombak bagi perjuangan pembentukan Provinsi Riau. Badan Penghubung bertugas menjalankan tugas-tugas dari PPPR.

Badan Penghubung juga diberikan kewenangan mengambil inisiatif demi kelancaran perjuangan sepanjang tidak menyimpang dari kesepakatan Kongres Rakyat Riau.

Anggota Badan Penghubung awalnya terdiri dari Wan Ghalib (Ketua), A Djalil (sekretaris) dan anggota yang terdiri dari M Sabir, Ali Rasahan, Azhar Husni, T Arief, Dt Bendaro Sati, Nahar Efendi dan Kamarudin R. Setelah dilakukan perombakan anggotanya berubah menjadi Wan Ghalib (Ketua), A Djalil M (sekretaris) dan anggota terdiri dari T Arief, DM Yanur, Kamaruddin AH, Hasan Ahmad, A Manaf Hadi, Azhar Husni dan Hasan Basri.

Perjuangan pembentukan provinsi juga dilakukan melalui parlemen oleh Marifat Mardjani, tokoh Riau yang duduk di parlemen saat itu. Dalam setiap kesempatan ia selalu menyuarakan tuntutan pembentukan Provinsi Riau di parlemen. Putra asal Kuansing ini merupakan seorang tokoh yang sangat concern dalam menuntut ke pemerintah pusat agar Riau menjadi provinsi. Bahkan dalam berbagai kesempatan, ia mencoba melakukan lobi-lobi politik kepada anggota DPR lainnya. Dengan gaung yang dilakukan oleh almarhum Marifat Mardjani tersebut, tentang keinginan membentuk provinsi sendiri berpisah dari provinsi induk, membuat pemerintah pusat sedikit memperhatikan keinginan ini.

"Keinginan yang besar tersebut tidak mampu dibendung pihak manapun, sehingga beberapa waktu, usai pelaksanaan Kongres Rakyat Riau I tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Tengah mulai melunak dan tidak mampu untuk membendungnya," kata Wan Ghalib lagi.

Akhirnya perjuangan panjang masyarakat Riau berbuah manis ketika Presiden Soekarno menandatangani Undang-Undang Darurat nomor 19 tahun 1957 tanggal 9 Agustus 1957. Undang-undang ini menyatakan pembentukan daerah-daerah tingkat I, yaitu Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Saat menandatangani UU Darurat tersebut Presiden Soekarno diketahui sedang berada di Denpasar, Bali.

Kabar lahirnya undang-undang ini diterima langsung oleh Ketua Badan Penghubung Wan Ghalib beserta Wakil Ketua DM Yanur dari Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata. Menteri mengatakan bahwa undang-undang ini akan diundangkan dalam lembaran negara oleh Menteri Kehakiman GA Maengkom pada tanggal 10 Agustus 1957. Sejak itu, setiap tanggal 9 Agustus setiap tahun diperingati sebagai hari ulang tahun (HUT) Provinsi Riau.

Masih Banyak "Pekerjaan Rumah"

Namun, perjalanan Riau belum sepenuhnya selesai. Tokoh masyarakat Riau yang juga Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Dr Chaidir, menilai masih banyak 'pekerjaan rumah' agar Riau bisa mengejar ketertinggalannya selama ini. Terutama ketertinggalan di bidang infrastruktur, fasilitas pendidikan dan kesehatan. Selain itu juga perlu menurunkan angka kemiskinan dan stunting.

 

Ia berharap momentum Hari Ulang Tahun (HUT) ke-67 Riau, tidak ada lagi kepentingan sendiri melainkan kepentingan kelompok. "Momentum hari jadi ini kita minta untuk bagaimana kita menggerakkan secara baik kekayaan kita ini untuk rakyat kita. Kalau kita bisa menggerakkannya, saya yakin tidak ada lagi stunting di Riau, tidak ada lagi jalan rusak, infrastruktur kelas dunia semua," kata mantan ketua DPRD Riau itu, Kamis (8/8/2024).

Chaidir menyebut, dengan kekayaan alam yang dimiliki Riau, harusnya sudah tidak ada lagi permasalahan infrastruktur, fasilitas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dan stunting. Untuk mengatasi hal itu perlu manajemen pemerintahan.

"Permasalahan itu seharusnya tidak ada lagi di Riau. Seperti infrastruktur, kita nomor 1 di Indonesia. Itu harusnya dengan kekayaan daerah, kita tidak lagi menghadapi masalah itu, jadi dimana kuncinya, di manajemen pemerintahan. Kalau ini solid kedepan, momentum hari jadi ini fokuslah, lupakan masalah politik itu dan memperjuangkan kepentingan masyarakat," ujar Chaidir lagi.