Supersemar Bukan Pengalihan Kekuasaan

Rabu, 12 Maret 2014

post

Presiden Pertama Indonesia, Ir.Soekarno
Presiden Pertama Indonesia, Ir.Soekarno (sumber: dok)
Jakarta (Inhilklik) - Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) bukan sebuah bentuk pengalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto. Supersemar juga bukan sebagai “kudeta merangkak” seperti yang disinyalir berbagai pihak selama ini. Sebab, Soeharto menjadi presiden, menggantikan Soekarno dua tahun setelah Supersemar dikeluarkan, tepatnya 12 Maret 1968.

Hal itu dikatakan Noor Johan Nuh, penulis buku Bung Karno, Pak Harto, dan Surat Perintah 11 Maret kepada wartawan di sela-sela acara diskusi “Peringatan 48 Tahun Supersemar” dan peluncuran bukunya di Jakarta, Selasa (11/3).

Noor menjelaskan, Supersemar adalah surat perintah yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto, yang pada angka 1 surat perintah itu menyebutkan bahwa penerima surat perintah itu untuk: “Mengambil tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.”

Berdasarkan surat perintah itu, pada 12 Maret 1966, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembubaran PKI adalah untuk memenuhi tiga tuntutan rakyat disingkat Tritura, yang dicanangkan oleh kelompok kesatuan aksi (mahasiswa dan pelajar) dan Orpol serta Ormas pada 10 Januari 1965, pasca-kudeta berdarah Gerakan 30 September 1965.

Noor menjelaskan, banyak pertanyaan tentang polemik Supersemar yang ia jawab dalam bukunya. Semuanya dituturkan dengan runtut mulai dari kudeta Dewan Revolusi Gerakan 30 September 1965, keadaan di Indonesia pasca-kudeta berdarah, sampai akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar. “Sebenarnya, Presiden Soekarno membacakan kembali Surat Perintah itu di sidang kabinet pada 13 Maret 1965,” kata Noor.

Dijelaskan, sesuai tulisan Jenderal M Jusuf disebutkan, surat perintah itu diketik memakai dua kertas karbon (ada dua tindasan). Tindasan pertama diambil oleh Sabur yang kemudian dibacakan Presiden Soekarno dalam sidang kabinet itu, tindasan kedua dipegang Jenderal M Jusuf. Sedangkan halaman pertama yang ditandatangani Presiden Soekarno diberikan kepada Mayjen Basuki Rahmat untuk disampaikan kepada Letjen Soeharto.

Dalam bukunya, Noor mengisahkan, proses pembuatan surat perintah itu berlangsung alot antara tiga jenderal dengan Presiden Soekarno yang didampingi tiga orang wakil perdana menteri yaitu Soebandrio, Leimena, dan Chairul Saleh. Setelah mereka yang hadir itu mencapai kompromi, baru lah Soekarno meminta Sabur mengetiknya dengan dua tindasan.

Yang ditandatangani Presiden Soekarno hanya lembar yang diketik sedang tindasannya tidak ditandatangani.

“Jadi, tidak benar pendapat yang mengatakan Presiden Soekarno mendapat tekanan dalam pembuatan surat perintah itu. Kewibawaan dan dukungan kepada Presiden Soekarno pada waktu itu masih sangat besar. Jika Presiden Soekarno mendapat tekanan dari tiga jenderal itu, dengan mudah beliau dapat memerintahkan pasukan Cakrabirawa, soalnya ada satu batalyon Cakrabirawa di Istana Bogor, untuk menangkap ketiga jenderal itu,” papar Noor.

Untuk membuktikan itu, Noor menambahkan sebuah keping CD dalam bukunya yang berisi tentang cuplikan pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1966 yang berjudul “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” (Jasmerah). Dalam pidato itu, mengenai Supersemar, Presiden Soekarno mengatakan: “Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik, dan saya mengucapkan terima kasih kepada Jenderal Soeharto akan hal itu”.

Karena itu, kata Noor, pidato ini sekaligus membantah tulisan yang menyebut Supersemar sebagai “kudeta merangkak.”

Tentang keberadaan Supersemar, Noor menganalogikan dengan teks proklamasi tulisan tangan Bung Karno. Teks itu setelah diketik oleh Sayuti Melik dibuang ke keranjang sampah, kemudian diambil oleh BM Diah. Baru pada tahun 1992, BM Diah menyerahkan teks itu ke Arsip Nasional.

Selama 47 tahun, teks asli proklamasi tulisan tangan Bung Karno disimpan oleh BM Diah. “Semoga juga hendaknya terjadi pada Supersemar. Siapapun yang merasa menyimpan surat perintah yang bersejarah bagi bangsa ini berkenan menyerahkan ke Arsip Nasional. Jika tidak, sesuai Pasal 81 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009, ia akan diancam pidana penjara lima tahun atau denda Rp 250 juta. Semoga yang meyimpan Supersemar dapat tergugah untuk menyerahkan ke Arsip Nasional dan tidak ada lagi misteri dalam perjalanan sejarah bangsa ini,” ujar Noor. (*)


Source: Suara pembaruan