Benarkah Mahasiswa adalah Intelektual ?

Jumat, 07 Februari 2014

post

Ary Nugraha, S.Ip
Oleh: Ary Nugraha, S.Ip
(Founder Riau Polling, Aktivis HMI Cabang Pekanbaru)

Sejarah bercerita bahwa semua perubahan besar yang terjadi berbagai belahan dunia dimotori oleh anak muda yang terwakili pada diri mahasiswa.

Sehingga tidak aneh jika pada diri mahasiswa khususnya di Negara Dunia ke-3 melekat stigma sebagai nurani masyarakat serta intelektual muda yang masih “bersih”.

Benarkah mahasiswa adalah intelektual…? Dari pengamatan beberapa ahli disimpulkan bahwa apa yang digembar-gemborkan sebagai “student revolution” terutama belakangan ini ternyata telah terdistorsi menjadi tidak lebih dari suatu gerakan non-intelektual tanpa dilandasi oleh ide dan metode ilmiah tetapi hanya sekedar praksis belaka.

Para Mahasiswa mengetahui bahwa banyak hal yang tidak beres dalam sistem sosial masyarakat, tetapi ketika mahasiswa hanya mengandalkan ”deep filling” sebagai alat untuk membaca dan menganalisis keadaan sosial serta bergerak untuk memperbaikinya maka yang terjadi adalah kerusakan yang lebih parah karena tidak adanya konsep gagasan tentang masa depan yang lebih baik yang mereka inginkan.

Kemampuan mereka baru sebatas mendobrak “masa lalu” tapi bukan membentuk masa depan yang dicita-citakan. Sehingga wajarlah jika masyarakat yang ingin mereka bela justru menjadi antipati dan tidak peduli dengan sang dewa penolong.

Kelemahan mahasiswa pada umumnya di belahan dunia manapun dan khususnya di Indonesia adalah tidak menyadari –atau lebih buruk lagi tidak merasa perlu untuk menyadari bahwa dalam sosok intelektual sebagai keseluruhan terbagi atas tiga jenis yakni : intelektual produktif, reproduktif dan konsumtif. Intelektual produktif adalah sosok intelektual yang sudah “jadi”dengan karya-karya intelektual yang bersifat ilmiah, artistik, religius, dan praktis.

Intelektual reproduktif adalah sosok yang baru dalam tahap interpretasi dan transmisi dari karyakarya tersebut diatas. Intelektual produktifpun dalam karyanya selalu bertitik tolak dari pemikiran intelektual lainnya yang dipakai sebagai model atau pembanding dan hal ini merupakan suatu hal yang wajar.

Sedangkan intelektual konsumen adalah sosok yang baru dalam taraf belajar untuk menjadi “reproduktif” atau bahkan “produktif”. Pada level ini biasanya mahasiswa berada, dan karena itulah maka posisi mahasiswa adalah posisi yang kritis karena sebagai intelektual yang baru belajar terhadap berbagai macam model pemikiran dan ideology dari intelektual produktif, mahasiswa akan berada dalam gelombang pemikiran berbagai penggagas besar yang bila tidak disadari, pemikiran yang dipelajarinya itu justru akan menjadi candu bagi jiwa keintelektualannya. Atau bahkan tidak jarang menjadi mangsa para politisi licik yang tidak berani untuk bertindak sendiri.

Banyak momen-momen sejarah yang memperlihatkan bagaimana mahasiswa tidak lebih hanya sekedar “pendobrak” yang kemudian “diselesaikan” dengan cantik oleh para politisi untuk kepentingan mereka.

Dan sebagai hiburan maka mahasiswa cukup diberi julukan terhormat sebagai “nurani masyarakat”, “ägent of change” dan berbagai julukan heroik untuk memuaskan nafsu eksistensinya.

Hal ini harus disadari oleh mahasiswa bahwa sebagai kelompok elit terpelajar yang memiliki potensi untuk melakukan perubahan, mereka harus terlebih dahulu mematangkan keintelektualannya sebelum berpindah ke level praksis.

Berbagai kasus “unjuk rasa” yang berakhir dengan kekerasan menunjukan ketidakdewasaan mereka yang katanya adalah bergerak atas nama kemanusiaan.

Ketidakmampuan mereka dalam menyusun suatu “platform bersama” antar berbagai elemen kemahasiswaan, dengan melepas semua baju ideologi dan simbol yang melekat, dengan media diskusi dan dialog, menunjukan bahwa mereka tidak mempunyai jiwa intelektual yang terlepas dari berbagai macam ideologi dan simbol yang mengekang kebebasan berpikir.

Mahasiswa kita dewasa ini terlalu asyik bermain dalam area praksis dalam artian politik karena disitulah kehausan eksistensinya ketenaran dll dapat terpuaskan, dan untuk bermain di arena itu cukup bermodalkan keberanian turun kejalan, kepandaian berbicara, teriakan yang keras sedangkan nalar untuk berpikir sama sekali tidak diperlukan.

Sehingga saat ini kita tidak lebih dari “pseudo intelektual”.