Kanal

Kisah Seorang Petani Kopi Sedekah Ke Masjid Rp500 Juta

Usai maghrib saya kedatangan tamu di rumah.

"Assalamu’alaikum, sapanya ketika sampai di depan pintu‎."‎

"Wa’alaikum salam, jawab saya sedikit kaget karena tidak mengenal tamu ini. Saudara siapa?" tanya saya. ‎

“Saya Sobari," jawabnya dengan wajah diliputi senyum. ‎

"Bapak pengurus Masjid?" ujarnya bertanya.‎

“Ya, betul Pak, Ada apa? Apa yang dapat saya bantu."‎

"Saya tadi melewati masjid yang sedang dibangun. Orang di sekitar masjid meminta saya untuk menemui bapak?"

"Ya, Kenapa?‎

"Saya niat bersedekah untuk penyelesaian pembangunan masjid," katanya dengan tetap diliputi senyum.

Saya memperhatikan penampilan orang ini. Tidak nampak dia memiliki kemampuan untuk bersedekah. Saya lirik di luar, tidak ada kendaraan di parkir. Pasti orang ini datang dengan angkutan umum atau beca. Mungkin orang ini "Sakit". Atau hanya ingin mempermainkan emosi saya.

Sudah hampir empat tahun masjid tak kunjung selesai dibangun. Sementara saya sebagai ketua Panitia Pembangunan Masjid sudah bosan mengajak masyarakat untuk berinfaq atau bersedekah. Tapi hasilnya hanya uang receh yang terkumpul di dalam kotak amal. Sementara kotak amal yang dititipkan di setiap sudut pasar atau rumah makan hanya menghasilkan uang yang tidak seberapa.

"Bagaimana Pak? Kenapa bapak diam? tegurnya membuyarkan lamunan saya.‎" "Eh, iya. Pak, hmm.. berapa bapak mau sumbang? tanya saya masih diliput rasa tidak percaya.

"Boleh saya tau? berapa dana diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan masjid tersebut," ungkapnya dengan tenang.

Pertanyaan yang lagi-lagi membuat saya hilang hasrat untuk bicara banyak sama tamu ini. Dia pasti orang "sakit jiwa".‎

"Ya.. kita butuh dana sebesar Rp 500 juta," jawab saya, berharap orang itu cepat berlalu.

"Baik, pak. Besok kalau bapak ada waktu, saya tunggu di Pengadilan Agama. Saya akan memberikan sedekah di hadapan hakim Agama," katanya tenang. "Jam berapa bapak ada waktu?" lanjutnya.

"Ya liat besok aja ya pak," jawab saya. Berharap orang itu cepat berlalu. Karena saya harus memimpin sholat Isya di masjid.

"Baiklah, ini nomor telp rumah saya. Kalau bapak siap, hubungi saya, permisi saya pamit dulu, rumah saya jauh," lanjutnya sambil berdiri dan berlalu. Baru saya sadar, tamu ini tidak saya tawarkan minum.

Usai sholat Isya, secara tidak sengaja saya melontarkan cerita kedatangan tamu ke rumah kepada pengurus masjid lainnya. Tanggapan mereka sama seperti saya. Orang itu stress dan tidak perlu dilayani. Karena besok semua pengurus punya banyak kesibukan, dan tidak mungkin meluangkan waktu untuk datang ke Pengadilan Agama.

Keesokan harinya salah seorang pengurus meminta saya untuk menemaninya ke show room mobil. Dia hendak menebus indent kendaraan yang dipesannya sejak empat bulan lalu. Karena lokasi showroom tidak begitu jauh dari Kantor Pengadilan Agama maka saya tawarkan kepada teman ini untuk mampir ke Pengadilan. Dia sedikit sungkan tapi akhirnya setuju.

Langsung saya menghubungi orang yang akan menyumbang tersebut melalui telpon rumahnya. Dia langsung menyanggupi untuk datang. Menyanggupi datang pukul 11 siang untuk sampai di Kantor Pengadilan Agama.

"Baiklah, tapi saya tidak mau menunggu terlalu lama di kantor Pengadilan, lewat setengah jam anda tidak datang, saya langsung pulang," ujar saya tegas, karena sesungguhnya saya masih sangsi pada orang ini.

"Insya Allah," jawabnya.‎

Tepat pukul 11 saya dan teman sudah sampai di kantor Pengadilan Agama. Tapi orang yang akan menyumbang belum juga kelihatan batang hidungnya.

Lewat lima menit, orang tersebut datang dengan angkutan becak dan langsung ke dalam halaman kantor Pengadilan Agama.

Bajunya sangat sederhana.

‎Teman saya yang melihat pemandangan itu langsung tersenyum kecut. Bagaimana mungkin dia bisa menutup kekurangan pembangunan masjid sebesar Rp500 juta.

"Mungkin kita yang gila, mau-maunya nungguin dia. Tapi ya sudahlah, kita lihat saja," gerutu teman saya kala melihat kedatangan orang tersebut.‎

"Assalamu’alaikum," sapanya sesampai di dalam menjumpai kami.

"Ya, bagaimana pak, apakah bapak sudah bawa uangnya? tanya teman saya langsung ke pokok persoalan.‎

"Ini uangnya," katanya sambil memperlihatkan kantong semen ditangannya. Mari kita menemui petugas untuk membuat akta penyerahan sumbangan ini. Maaf, bukan saya tidak percaya tapi ini perlu sebagaimama ajaran Alquran menyebutkan bahwa segala sesuatunya harus tertulis," katanya.

Sambil melangkah ke dalam menemui petugas pengadilan. Tanpa banyak kata orang ini langsung menyerahkan tumpukan uang di hadapan petugas pengadilan.

Petugas pun menghitung. Jumlahnya Rp 500 juta..!‎!

Petugas kemudian menyerahkan formulir untuk kami isi, kemudian ditandatangani, maka uang pun berpindah ke tangan kami.

"Pak, cukuplah bapak-bapak sebagai panitia dan pak Hakim yang mengetahuinya. Saya menyumbang karena Allah..." katanya ketika akan pamit berlalu.

Melihat situasi yang diluar dugaan kami maka timbul rasa malu dan rendah di hadapan orang ini. Ternyata dia yang kami nilai stress atau gila, menunjukan kemuliaannya.
Sementara kami dari awal meremehkan dan memandang sebelah mata padanya.

"Maaf, mengapa bapak ikhlas menyumbang uang sebanyak ini, sementara saya lihat bapak, maaf terlihat sangat sederhana. Mobil pun bapak tidak punya," tanya teman saya penuh keheranan.

"Saya merasa sangat kaya, karena Allah memberikan saya qalbu yang dapat memahami ayat-ayat Alquran. Cobalah anda bayangkan, bila uang itu saya belikan kendaraan mewah, maka manfaatnya hanya seusia kendaraan itu. Bila saya membangun rumah megah maka nikmatnya hanya untuk dipandang. Namun bila saya gunakan harta untuk saya sedekahkan di jalan Allah demi kepentingan Ummat, maka manfaatnya tidak akan pernah habis," jawabnya dengan sangat sederhana tapi begitu menyentuh.

"Apa pekerjaan bapak sesungguhnya," tanya teman saya lagi.

"Saya hanya petani Kopi, Alhamdulillah dari hasil kebun Kopi lima anak saya semua sudah sarjana, dan sekarang mereka sudah sukses dan hidup sejahtera. Kelimanya sudah berkeluarga. Alhamdulillah, semua anak dan mantu saya sudah menunaikan rukun haji,” jelasnya.

"Bapak memang sangat beruntung. Apa resepnya hingga bapak dapat mendidik anak yang sholeh," tanya saya.

"Resepnya dekatkan diri kepada Allah, Cintailah Allah, Cintailah semua yang diamanahkannya kepada kita, dan berkorbanlah untuk itu. Bukankah anak, istri, lingkungan dan syiar Islam adalah amanah Allah kepada kita semua," ungkapnya.

Bila kita sudah mencintai Allah dengan hati, dan dibuktikan dengan perbuatan maka selanjutnya hidup kita akan dijamin oleh Allah. Apakah ada yang paling bernilai di dunia ini dibanding kecintaan Allah kepada kita..?

Dia pun kemudian pamit dan berlalu bersama becak sewaannya.

Sementara saya dan teman saya tercekat dan tak mampu berkata-kata lagi.

Kami tak berani mendahului becak yang ditumpanginya. Mobil keluaran terbaru yang saya beli bulan lalu serasa tak mampu melewati becak tersebut.

Saya dihantui rasa malu, malu dengan diri saya di hadapan orang yang tawadhu namun ikhlas berjuang di jalan Allah. Mungkin penghasilan saya lebih besar darinya. Tapi belum bisa seikhlas dia. Saya menjadi merasa tak pantas menyebut diri ini mencintai Allah.."

Semoga bermanfaat.‎


H Irwanto Rusli

Ikuti Terus InhilKlik

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER