Kanal

Politik Demi Tuhan

Kataakanlah wahai pemilik kekuasaan, Engkau anugerah kekuasaan bagi siapa yang engkau kehendaki, dan mencabutnya dari siapa yang engkau kehendaki, Engkau muliakan bagi siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan bagi siapa yang Engkau kehendaki. dalam tangan-Mu segala kebajikan, sesungguhnya Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.

(Qs. Ali Imran: 26)

Menurut Plato, politik merupakan aktivitas mulia karena ditinjau dari segi tujuan untuk menggapai kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kenapa politik dalam arti ini begitu penting, karena masyarakat dahulu memandang politik dapat menjadi alat mujarab untuk mengatur kehidupan, mengingat masyarakat ketika itu sering berhadapan dengan keterbatasan sumber kehidupan (Miriam Budiardjo, 2008: 13). Akan tetapi entah kenapa pada proses perlembangan selanjutnya ketika konsep ideal politik ini berhadapan dengan alam nyata terjadi ketimpangan arah dan tujuan terutama di Indonesia saat ini.

Aktivitas politik yang melahirkan kekuasaan dengan tujuan menegakkan keadilan, keamanan serta kesejahteraan masyarakat justru berbalik arah menjadi suasana gaduh yang penuh intrik, tipuan serta pengrusakan sendi-sendi kehidupan. Di manakah letak kelemahan itu?.Untuk mencari kelemahan ini jika digunakan perspektif yang lebih luas tentu banyak paradigma bisa memberikan jawaban. Akan tetapi dalam tulisan ini saya ingin melihat dari faktor niat atau motivasi politik para politikus yang mengakses kursi kekuasaan eksekutif maupun legislatif.         

Dalam pemahaman yang sederhana, saya meyakini bahwa segala motivasi kekuasaan yang dilandasi kepada selain Tuhan pasti akan menimbulkan belenggu, karena selain tujuan ke-Tuhanan pasti sifatnya terbatas, seperti manusia, jabatan, materi ataupun hal yang lain. Buktinya ketika kita perebutkan hal tersebut pasti akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi tidak pernah menjadi persoalan, cemburu, iri hati ataupun dengki ketika seseorang memperebutkan Tuhan bahkan semua makhluk di permukaan bumi ini telah memperebutkan-Nya, tapi hingga kini tak pernah menjadi persoalan.

Ternyata Tuhan merupakan simbol pemersatu bagi setiap jiwa manusia maupun diluar dari itu. Sesuatu yang dilandasi atas nama Tuhan pasti menjanjikan kedamaian, kesejahteraan serta keselamatan, jangankan manusia sebagai makhluk mulia hewan dan tumbuh-tumbuhanpun turut mendapatkan perlindunagan dari pengelolaan kekuasaan atas nama Tuhan. Karena potensi serta motivasi kekuasaan itu telah bersemayam ke dalam diri setiap kita berupa sifat-sifat Tuhan (asmaul husna), jadi upaya kita adalah meniru sifat-sifat itu. Namun terkadang kita selalu terputus dari nama atau sifat-Nya bahkan melepaskan diri dari hakikat yang sesungguhnya kita sendiri tak akan pernah bisa lepas.

Hemat saya ini adalah motiv kekuasaan yang salah kaprah yaitu melupakan kekuasaan dari segala yang berkuasa atau melupakan kekuasaan dari yang mentakdirkan ia untuk berkuasa. Inilah karakter manusia yang memiliki paradigma otonom dari Tuhan dalam segala ketidak berdayaan, al-qur’an juga telah menyinggung bahwa” inilah kesombongan yang nyata”.

Dalam kondisi ini ia berusaha mempensiunkan Tuhan dari segala aktivitasnya walaupun terkadang nama Tuhan dan agamanya sering dikomersialisasi dalam segala kepentingan sosial-politiknya, tapi itu hanya untuk mendonkrak citra diri di hadapan orang-orang, yang sebenarnaya Tuhan tidak pernah dihadirkan kedalam jiwanya. Inilah politisi pengkhianat Tuhan dan manusia. Akibatnya tidak banyak hal yang bisa diperbuat atas nama Tuhan dan rakyat, janji manis yang diucapkan tidak jarang berujung dengan sumpahan dan caci maki dari mulut-mulut orang-orang yang di khianati.

 

Oleh karena itu, bicara persoalan kekuasaan dunia, al-qur’an telah jelas-jelas memberikan mandat kepada manusia untuk menjadi khalifah fil ardh (pemimpin bumi) (Qs. Al-Baqarah: 30) dengan tujuan bagaimana setiap manusia mampu menciptakan kedamaian, keadilan, kesejahteraan serta kebahagiaan yang berpandu pada nilai-nilai Ilahi.

 

Ketika itu Tuhan juga pernah menawarkan pada laut, gunung dan bumi atas amanat ini, tapi mereka tak sanggup karena bebannya terlalu berat, namun manusialah yang menerimanya. Kini selaku manusia tentu kita tak punya pilihan selain menjalankan amanah itu sesuai dengan selera-Nya, sebab, diluar dari itu pasti mengalami kehancuran.

 

Inilah sekilas gambaran tentang hakikat kekuasaan yang hari ini cenderung kita perebutkan yaitu suatu hal yang ringan secara status tapi berat secara fungsi. Harapannya dengan hadirnya tulisan sederhana ini dapat melawan rasa lupa kita bahwa kekuasaan dunia sangat erat hubungannya dengan persoalan ke-Tuhanan.

Jadi, janganlah bermain-main dengan kekuasaan karena segalanya ada pertanggungjawaban. Mungkin tidak akan ada penyimpangan jika segala aktivitas politik dilakukan DEMI TUHAN. Hanya satu kata yang perlu diingat bahwa Tuhan melihat aku. (*)

 

 

Oleh: AHMAD TAMIMI

Penulis adalah Ketua Panwaslu Kec. Mandah, Indragiri Hilir

Ikuti Terus InhilKlik

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER