PILIHAN
Aku Anak Tujuh Puluhan
Ilustrasi/Internet |
Pagi itu aku duduk di serambi rumah yang setengah uzur sambil menikmati secangkir kopi. Entah kenapa penyakit DIARE (Dirumah Aku Resah) kambuh. Hari minggu hari libur. Itu untuk para karyawan dan orang kantor. Tetapi bagiku, hari minggu hari kesempatan untuk menambah pendapatan, biar dapurku tidak kembang kempis. Padahal warga kampung semuanya beraktifitas sesuai dengan keahliannya.
Menjadi guru honorer di Kampung. Samalah halnya menanam kerakap di atas batu. Hidup segan mati tak mau. Tetapi apa boleh buat. Siapa lagi yang akan memperbaiki generasi berikutnya. Para sarjana kampung berduyun duyun hijrah ke kota. Bagi mereka hidup dikampung merupakan beban moral. Bagiku menjadi guru bukanlah profisi. Sebab pendidikan yang ku miliki tidak mendukung aku menjadi seorang guru profisional. Aku hanya berbagi ilmu dan tanggung jawab kepada bangsa . Itu yang bisa aku lakukan untuk negri ini.
Matahari terus memancarkan sinarnya, sekan mengajakku untuk beranjak dari tempat duduk. Namun aku tetap bermalas-malas melakukan aktifitas. Kemauan ada selera tak mendukung.
“Ah,.. bersenang-senang dudu hari ini.” Pikirku dalam hati. Biarlah kata orang waktu itu sangat berharga. Aku pun malas menanyakan dengan karyawan, berapa harga waktu itu. Mungkin juga ini salah satu penyebab kenapa kehidupan ku pas-pasan.
Entah kenapa pikiranku kembali teringat pada masa lalu. Masa kecil hidup diperkampungan terpencil yang jauh dari keramaian kota. Terbayang sosok guru yang kukagumi. Ia bagaikan Malaikat bagiku, yang telah mengajariku membaca dan menulis. Tapi sayang beliau sudah duluan menyelesaikan gelar al marhumnya.
Kupandang kulit ku yang sudah kendur dan urat yang meliuk liuk dipunggung tanganku bagaikan anak sungai yang terlihat dalam peta. Rasanya terlalu cepat waktu berlalu.
“Setengah abad sudah aku menghuni pelanet bumi ini.” Rasa ketakutan mulai muncul dalam benakku. Aku bukan takut mati. Sebab kematian akan menjemput setiap saat. Aku hanya takut meneyelaikan skripsi. Kalau-kalau ditolak oleh Dosen pembimbing. Maka gelar almarhumku sia-sia. Bak kata pepatah; “Harimau mati meninggalkan belang. Kalau aku mati apa yang kutinggalkan?” paling tidak. Hutang yang harus dilunasi oleh ahli warisku.
Aku pandangi sekitar desa tempat aku dilahirkan. Semuanya telah berubah. Sama halnya dengan perubahan yang ada pada diriku. Jalan timbun depan rumahku yang dulu musim hujan bicek dan bila musim panas debunya bisa buat tayammum. Kini telah dilewati kenderaan bermotor. Begitu pula semak belukar yang membatasi antara kampung. Kini berubah jadi pemukiman penduduk. Juga kebun-kebun warga yang tidak terawat berubah jadi warisan yang sangat berharga.
Awal pemerintahan ordebaru pembangunan sama sekali tidak menyentuh kepedesaan. Sekolah, tempat ibadah, jalan, jembatan dan lainya semuanya dikerjakan dengan swadaya. Padahah ketika itu Indonesia sudah 25 tahun merdeka.
Masih jelas dalam ingatanku, ketika pertama kali orang tuaku memasukkan aku kesekolah. Tepatnya setelah lebaran idul fitri. Waktu itu tidak ada tahun ajaran, tidak ada kurikulum, dan tidak ada tata tertib sekolah. Jarak sekolah sekitar 3 kilo meter dari rumahku. Letaknya di pinggiran ibu kota Kecamatan. Pagi itu dengan rasa bangga, aku berangkat kesekolah, mengenakan seragam yang terbuat dari karung terigu, sekeping buku, dan sebatang pensil yang sudah kuruncing dari semalam. Kami menyelusuri jalan setapak tanpa alas kaki, melintasi semak belukar menuju sekolah.
Perasaan takut menemaniku dalam perjalanan hari pertama kesekolah. Aku belum pernah bergaul dengan anak luar kampung. Apa lagi mendengar cerita bahwa guru yang mengajar cukup garang, dan selalu memberi hukuman pada muridnya.
Ketika matahari naik sepenggalah, sampailah aku ditempat tumpuan. Tempat aku menimba ilmu, tempat memulai mengenal alam pendidikan. Dengan was-was aku pandangi bangunan persegi panjang, yang berdiri disamping rumah penghulu kampung.
Bangunan tiga ruang, jauh dari layak sebagai tempat belajar. Hanya berdindingkan kulit kayu meranti, beratap rumbia, dan full AC. Kalau sekarang tidah ubahnya seperti kandang sapi.
“ Ini sekolah kita, kata Sudin,” anak yang sudah masuk setahun yang lalu. Aku hanya mengangguk.
Aku disuruh Sudin duduk di bawah pohon jambu yang ada di halaman sekolah. Istirahat menunggu loncing tanda masuk. Sementara Sudin yang sudah terbiasa dengan sekolah ini membaur dengan murid lain untuk bermain.
Sudah menjadi peraturan disekolah ini. Murid tidak dibolehkan masuk kelas sebelum bel dibunyikan. Bagi yang melanggar dapat hukuman berdiri di samping tiang bendera selama satu jam.
Tidak lama kemudian, aku melihat sesosok tubuh besar dan tegab, keluar dari pintu rumah pak penghulu. Ia membawa beberapa buah buku cetak. Mungkin ini Pak Nizam guru sekolah ini pikirku dalam hati.
Pak Nizam adalah seorang guru impor yang sengaja di datangkan dari Bukittinggi Sumbar. Ia pernah menimba ilmu pengetahuan di Madrasah Tarbiyah Islamiyah candung Bukittinggi. Pak Nizam kelihatan cukup berwibawa dengan pici hitam yang sedikit miring.
Ketika itu keberadaan seorang guru cukup dihormati. Bagaikan seorang Bupati sekarang ini. Tutur katanya jadi panutan bagi semua orang. Ilmu yang dimilikinya betul-betul berharga. Meskipun murah dibayar oleh warga kampung.
Tepat jam 08.00. Pak Nizam memukul loncing yang terbuat dari pitongan besi pipa.
“Tang, tang, tang.” Bunyi loncing tanda masuk. Semua murid berhamburan lari menuju halaman dan menyusun barisan.
“Barisan harus rapi dan tertib.” Terdengar Suara Pak Nizam tegas memberikan perintah.
Murid-murid yang sudah terbiasa dengan kedeseplinan menyusun barisan tanpa mengeluarkan suara.
Seperti biasanya sebelum memberikan sambutan atau nasehat. Pak Nizam memeriksa barisan. Satu persatu anak memperlihatkan jari tangan. Jika kedapatan murid berkuku panjang, maka ia akan berurusan dengan Pak Nizam hari itu.
“Assalamualaikum.wr.wb.” Pak Nizam memulai sambutan, awal tahun masuk sekolah.
Aku dengan khusu’ mendengarkan kata demi kata yang diucapkan oleh Pak Nizam dalam sambutannya. Aku pasti nanti akan di introgasi oleh Pak Nizam. Sebab aku murid baru. Yang jelas biodataku pasti ditanya nanti, untuk mengisi buku absen.
Setelah Pak Nizam menutup sambutan yang cukup panjang lebar. Ia berkata
“ Sekarang yang boleh masuk keruang kelas, hanya murid baru. Kelas 2 dan 3 setelah bunyi loncing berikutnya Kalian mengerti!.”
“Mengerti Pak.” Jawab kami serempak.
Barisanpun di bubarkan. Anak kelas 2 dan 3 melanjutkan permainannya yang tertunda. Sementara aku dan beberapa murid baru digiring masuk kelas yang berlantai tanah. Kami disuruh menempati bangku masing-masing dengan tertib. Aku duduk dengan melipatkan tangan diatas meja. Sementara tubuhku menggigil seperti kena sengatan listrik.
“Anak-anak!.... kalian murid baru. Orang tua kalian memasukkan kalian kesekolah ini. Sekarang Bapak Tanya.. Untuk apa kalian sekolah?.” Tanya Pak Nizam dengan ramah penuh kasih sayang.
Tak seorang pun diantara kami yang berani menjawab pertanyaan Pak Nizam. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Pak Nizam itu orangnya baik, lemah lembut dan kasih sayang kepada anak didiknya. Dari perawakan tubuhnya kelihatan garang dan menakutkan.
“Mungkin kalian masih malu-malu,” lanjutnya sambil melempar senyum pada Susi anak perempuan mungil yang duduk paling belakang.
“Siapa yang namanya Bukhari. Coba tunjuk tangan.” Kata Pak Nizam
Bukhari mengacungkan tangan dengan rasa ketakutan mendengar namanya disebut.
“Ooh,....ini yang nama Bukhari. Nama yang bangus. Muda-mudahan jadi perawi hadis.” Puji Pak nizam
Bukhari cengingisan malu mendapat pujian. Satu persatu kami memperkenalkan diri dibangku masing-masing. Rasa ketakutan kami pada Pak Nizam kian memudar. Wajah yang tadinya pucat basi kini berubah seperti sedia kala.
Aku mengagumi sosok Pak Nizam. Seorang guru yang arif dan bijaksana, ucapannya selalu membekas dalam hati setiap yang mendengarnya. Bayangkan. Tiga ruang belajar dalam waktu yang sama, Pak Nizam mampu menguasai kelas dan memberikan pelajaran dengan baik. Luar biasa guru produc peninggalan kolonial.
Kami terpana mendengarkan cerita pengalaman Pak Nizam waktu sekolah dulu. Pahit getir yang ia lalui dengan tabah dan tawakkal. Sehingga ilmu yang didapatinya menghantarkan ia menjadi seorang guru.
“anak-anak!....Ilmu itu sangat penting dan wajib kita miliki. Kalian tau kenapa bangsa kita dijajah oleh bangsa lain?. Sebab bangsa kita waktu itu tidak punya ilmu. Kenapa Nabi kita Muhammad..saw. menganjurkan menuntut ilmu, meskipun sampai kenegri cina?. Sebab pada masa itu bangsa cina sudah maju ilmu pengetahuan.” Lanjutnya.
Tiga tahun aku berguru dengan Pak Nizam. Ialah yang membuat aku bisa membaca, bisa menulis, bisa berhitung dan bisa melakukan ibadah.
Naik kelas empat. Kami harus melanjutkan kesekolah Dasar Islam yang ada di ibu kota kecamatan jaraknya sekitar lima kilo meter dari kampungku. Disana hanya ada empat ruang belajar. Sebagai sekolah rujukan untuk mendapatkan ijazah. Dan Pak Nizam juga sudah tidak mengajar lagi disekolah lamaku. Ia pulang kekampung halamannya. Dan dua tahun setelah itu akau dapat kabar Pak Nizam meninggal dunia.
Setelah tamat Sekolah Dasar. Aku tidak dapat izin untuk masuk Sekolah Menengah Pertama. Kata datukku yang fanatik. Itu sekolah orang kafir, memang kebanyakan siswanya anak orang keturunan cina. Aku yakin ucapan datukku bukanlah menjelekkan sekolah. Yang jelas kemampuan orang tuaku untuk membiayai terbatas karena himpitan ekonomi. Lain hal anak orang cina, kebanyakan orang tua mereka pedagang dan hidup mapan.
Aku dimasukkan kesebuah Madrasah salafiah setingkat dengan smp. Belajarnya siang. Pakai pici dan kain sarung. Calon kyai pikirku. Aku tidak berani membantah kata orang tua. Sebab tata karama ketika itu masih kental dalam kehidupan masyarakat. Khususnya dikampung-kampung.
Seperti biasanya sebelum aku kesekolah. Aku terlebih dahulu membantu pekerjaan orang tuaku di sawah. Kalau bertepatan musim menanam atau menuai. Terkadang ikut orang tua membersihkan kebun kelapa hasil warisan dari kakek.
Kehidupan keluarga kami tergolong RTM. Aku anak kelima dari delapan bersaudara yang hidup dalam satu atap. Kami sering makan nasi campur singkong, sagu rendang dan apa saja yang bisa mengganjal perut. Dulu belum ada beras murah dari pemerintah, belum ada bantuan rumah layak huni. Makanya orang tuaku memasukkan aku kemadrasah, disamping iyurannya murah, manfaatnya untuk akhirat.
“Keturunan kita tidak ada yang jadi pegawai pemerintah nak.” Kata orang tuaku. Mulai dari kakekmu semuanya jadi petani. Orang yang jadi pengawai pemerintah dituduh mengambil hak rakyat. Aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiran orang tuaku. Apakah itu benar, atau ini hanya sebuah alasan karena ketidak mampuan orang tua untuk mencerdaskan anaknya.
Tahun 1975. Aku diberikan temanku sebuah Majalah Sahabat Pena yang diterbitkan oleh PT.POS Indonesia. Kebetulan temanku belajar di Ibu kota Kabupaten. Aku disarankannya agar gemar menulis surat pada teman-teman yang ada dimajalah ini. Untuk menambah wawasan, biar kita tahu dunia luar.
Aku coba menulis sebuah surat pada seorang teman yang ada dimajalah itu. Namanya: Azhari Ibrahim dari Bengkalis. Setengah bulan kemudian surat perkenalanku dibalas. Alangkah bangganya aku ketika pertama kali menerima surat. Berulang kali aku membacanya. Sejak itu aku mulai berlangganan Majalah sahabat pena yang terbit sebulan sekali dengan harga Rp 50,00 per exampler.
Aku terus menjalin hubungan persahabatan, dengan siapa saja yang sudi membalas suratku. Aku punya teman disetiap provinsi, termasuk negara jiran Singapura dan Malaysia. Malah sampai kearab saudi. Yah kebetulan aku bisa sedikit berbahasa arab.
Kegemaranku membaca kitab klasik atau kitab kuning sudah jarang kubuka. Aku lebih banyak membaca artikel yang selalu dimuat dalam majalah Panji Masyarakat, Tempo dan Kiblat. Aku mulai tertarik untuk menulis. Tapi aku tidak punya kemampuan bahasa dan sastra. Aku ingin sekali tulisanku terbit di majalah. Seperti halnya Fahrunnas Ma.jabbar, Mustamir Thalib dan banyak lagi penulis artikel Riau waktu itu.
Ketika dingku SMA aku sering membuat artikel, karikator atau puisi, bila ada jam pelajaran Hitung Dagang. Entah kenapa pelajaran itu selalu jadi musuh bagiku.
Semua hasil karyaku belum pernah aku publikasikan lewat media. Dan aku yakin hasil karyaku bakal tidak lolos dalam seleksi redaktur. Lagi pula, media cetak hanya ada di Jakarta dan Medan sepengetahuanku.
Kini semua impianku terkubur ditelan waktu, dan hanyut dibawa usia. Mungkin takdir tidak memihak kepada aku.
BERITA LAINNYA +INDEKS
Banjir Bandang Tewaskan 60 Orang di Afganistan
INHILKLIK - Banjir bandang akibat hujan musiman di Provinsi Baghlan di Afganistan utara menewaska.
Rahmad Tewas Diterkam Harimau saat Bekerja di Hutan Tanaman Industri
INHILKLIK - Konflik antara manusia dengan satwa kembali terjadi. Kali.
Polisi Buru Mobil Ugal-ugalan di Jalan Sudirman
INHILKLIK - Terekam video yang memperlihatkan sebuah mobil Toyota Rush melaju dengan kecepatan ti.
Warga Kampar Resah, Gajah Liar Rusak Kebun dan Masuk Perkampungan
INHILKLIK - Warga Desa Koto Tibun, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar resah. Sebab, sudah dua pek.
Menteri PANRB: Seleksi CPNS Sekolah Kedinasan Mulai Mei, CASN Juni
INHILKLIK - Pemerintah segera memulai tahapan seleksi calon aparatur sipil negara (CASN), baik un.
Rela Terabas Lumpur, Secarik Kisah Polri Wujudkan Pemilu Damai 2024 di Pinggiran Kota Seribu Parit
INHILKLIK.COM, TEMBILAHAN - Polsek Tembilahan Hulu merupakan salah satu dari 20 .
TULIS KOMENTAR +INDEKS